HR. Ahmad & Al Hakim : "Kemuliaan orang adalah agamanya, harga dirinya (kehormatannya) adalah akalnya, sedangkan ketinggian kedudukannya adalah akhlaknya.
"
|
![]() |
http://dik2.multiply.com |
![]() |
andhika.ramdhan |
![]() |
ramadhan_adhi |
![]() |
andhika.ramdhan@gmail.com |
![]() |
andhika.ramdhan@gmail.com |
![]() |
http://twitter.com/AndhikaRamdhan |
Sabtu, 19 Oktober 2013 pukul 18:00 WIB
Penulis : Dikdik Andhika Ramdhan
Memasuki hari kedua dalam bilangan tasyrik, itu berarti kita baru 2 hari melangkah dari sebuah hari raya besar bagi ummat Islam, Idul Adha. Ada sebuah ironi memang ketika kita menyebutkan Idul Adha sebagai hari raya sekaligus hari besar bagi ummat ini. Karena ternyata memang disadari atau tidak, nama besar Idul Fitri lebih populer sebagai hari rayanya ummat Islam di Indonesia.
Saya teringat sebuah khutbah di Jum'at pekan lalu, ketika sang khatib kembali mengingatkan kami untuk menyambut hari raya nan besar Idul Adha dengan kebahagiaan yang tak boleh berbeda dengan hari besar Islam lainnya. Ini karena dalam Idul Adha ada beberapa keistimewaan yang justru tidak ada di hari raya Idul Fitri sekalipun.
Adalah adanya perayaan ibadah haji, dimana jutaan orang, jutaan muslimin sedunia berkumpul bersatu padu mengumandangkan talbiyah di tanah Mekkah sana. Tidak ada satu agama apapun yang memiliki satu momen seperti ini, hanya di sini, hanya di perayaan Idul Adha.
Namun ada sebuah kepiluan ketika sebuah rangkaian dalam perayaan hari besar ini berlangsung di negeri kita. Ibadah Qurban sebagai satu bentuk perwujudan rasa kepedulian kita terhadap saudara-saudara kita dengan menyembelih hewan qurban dan membagikannya kepada mereka, ternyata masih saja harus membuat kita menarik nafas panjang.
Kembali media menyuarakan sebuah kabar bahwa terjadi kericuhan pada saat pembagian daging hewan qurban, yang kali ini ternyata justru terjadi di masjid terbesar di negeri ini. Masjid Istiqlal. Tak jauh dari tempat di mana para pimpinan negeri ini menjalankan roda pemerintahan.
Saya teringat dengan kisah Umar Bin Khattab, seorang khalifah (pemimpin) yang lahir dari kebengisan, namun ternyata berhati lembut dan sangat penyayang terhadap rakyatnya. Dalam malam ia tak jarang melakukan perjalanan menemui rakyatnya hanya untuk sekedar berbagi rezeki atau mendengarkan keluh kesah rakyatnya.
Ini yang mungkin semestinya bisa kita tiru. Jiwa sosial sang khalifah dengan mendatangi rakyatnya tidak salah jika kita jadikan acuan. Jika kita berniat berbagi dengan rakyat kecil, berbagilah dengan langsung menemui rakyat kecil, jangan pernah mencoba untuk mengundang mereka untuk berkumpul dalam terik dengan undangan secarik kupon. Namun seandainya jika kita tidak memungkinkan untuk menemui mereka satu persatu, ada baiknya mencoba untuk lebih berkoordinasi dengan pemerintahan setempat, membagikan apa yang akan kita beri cukup dikoordinir oleh perwakilan mereka saja, mungkin bisa lebih meminimalisir kejadian seperti ini.
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Dikdik Andhika Ramdhan sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.