Ibn Qudamah : "Ketahuilah, waktu hidupmu sangat terbatas. Nafasmu sudah terhitung. Setiap desahnya akan mengurani bagian dari dirimu. Sungguh, setiap bagian usia adalah mutiara yang mahal, tak ada bandingannya."
|
![]() |
http://jamilazzaini.com |
![]() |
http://facebook.com/jamilazzaini |
![]() |
http://twitter.com/jamilazzaini |
Ahad, 15 September 2013 pukul 21:00 WIB
Penulis : Jamil Azzaini
Setelah 1,5 tahun di Jerman, kemarin, anak kedua saya Ahmad Sholahuddin An-Nabhani (Asa) tiba di Indonesia. Begitu keluar dari pintu bandara, ia langsung berlari dan memeluk saya. Pelukan itu begitu lama, erat, dan nikmatnya sangat terasa. Kenikmatan semakin terasa saat saya menyaksikan ia memeluk ibunya dan kemudian adiknya.
Berbicara tentang pelukan, selain nikmat, pelukan itu bisa menurunkan stres dan lelah. Sebelum saya menikah, bila saya lelah, jenuh, dan punya masalah, pelukan ibu sayalah yang menjadi obatnya. Setelah saya menikah, pelukan istri sayalah yang lebih banyak menjadi penggantinya.
Pelukan benar-benar membuat pelakunya merasakan kebahagiaan dan kenikmatan. Sungguh rugi bila ada orang yang enggan memeluk anak dan istri serta orangtua hanya karena alasan “jaim”, malu, tidak terbiasa, dan alasan lainnya. Jadilah orang yang pro-aktif memeluk orang yang memang boleh kita peluk.
Saya selalu rindu dipeluk dan memeluk. Hingga saat ini, hanya ada satu pelukan yang sangat saya impikan ,namun belum bisa saya lakukan. Apa itu? Saya ingin memeluk kekasih Allah SWT, sang pembawa risalah, Nabi Muhammad SAW.
Setiap hari pikiran saya selalu bercampur antara harapan dan kekhawatiran, saya selalu berharap kelak bisa memeluk erat sang Nabi. Namun di sisi lain ada perasaan khawatir, “Pantaskah saya bisa memeluk orang yang begitu terhormat?”
Saya selalu merindukan moment bisa memeluk Nabi terakhir itu. Namun, pantaskah? Karena faktanya, saya begitu sering lelah dalam mencari nafkah, namun sangat jarang lelah dalam beribadah. Berjam-jam saya bisa serius aktif di sosial media, tetapi cepat terkantuk saat membaca kitab suci-Nya.
Ingin memeluk orang terhormat, tentu harus diimbangi memantaskan diri untuk juga menjadi orang terhormat. Caranya? Taat kepada orang yang hendak kita peluk. Melakukan hal-hal yang dicintai orang yang hendak kita peluk sekaligus menjauhi apa-apa yang ia benci.
Pelukan rindu kepada anak saya telah menyadarkan saya, ternyata memeluk itu nikmat. Apalagi memeluk orang yang sangat kita rindu. Untuk mewujudkan impian di dunia, saya tak pernah khawatir. Tetapi untuk mewujudkan impian memeluk sang Nabi di kehidupan nanti, saya selalu khawatir. Mungkinkah? Pantaskah?
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Jamil Azzaini sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.