Pelangi » Refleksi | Sabtu, 7 September 2013 pukul 20:00 WIB
Penulis : Muhammad Nahar
Kemarin siang, saat saya hendak berangkat untuk mengajar, bis yang saya tumpangi dimasuki pengamen. Tidak tanggung-tanggun, satu pengamen selesai manggung dan turun dari bis, yang lain naik dan mulai memamerkan aksi panggungnya. Total saat berangkat, ada 4 pengamen yang manggung, baik solo ataupun grup. Pas pulang, seingat saya ada dua pengamen lagi. 1 solo, yang lain grup.
Saya jadi berpikir, berapa kira-kira jumlah uang yang mereka dapat sehari? Perhitungan kasar saja. 500 x 10 = 5000. 5000 x 10 naik turun bis = 50000 rupiah, dikali 20 hari mengamen. Per bulan = 1 juta rupiah. Jumlah yang lumayan untuk masa krisis seperti sekarang ini. Apalagi, dengan melihat penampilan mereka yang masih muda-muda itu, kemungkinan besar mereka masih single alias belum menikah. Tentu banyak kesempatan bagi mereka untuk membina masa depan yang cerah, dunia dan akhirat.
Namun, tentu saja jumlah tersebut masih kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bagi mereka. Belum lagi karena background pendidikan yang kurang memadai, mereka memiliki kesadaran yang rendah akan nilai uang. Mereka juga belum mampu membedakan antara kebutuhan dengan keinginan. Sehingga, uang yang terkumpul dalam jumlah yang lumayan itu kemungkian besar habis untuk kebutuhan sehari-hari, seperti makan, minum, dan tentunya hal-hal yang sebenarnya bukan kebutuhan, seperti merokok. Saya sendiri tidak tahu apakah mereka harus menyetor pendapatan mereka ke bos preman atau tidak. Jika ya, sungguh malang nasib mereka.
Pola hidup boros itu mereka jalani karena ketidaktahuan mereka, dan hal itu membuat mereka untuk enggan berubah. Hal yang demikian terjadi pula kepada orang-orang yang lain, seperti supir bis dan kernet, pedagang asongan, pengemis, dan lain-lain.
Ya, mungkin seperti Bani Israel yang memilih hidup dalam cengkeraman Fir'aun di zaman Mesir Kuno daripada dimerdekakan oleh Nabi Musa AS. Hanya saja, zaman sekarang ini Fir’aun-nya diganti bos-bos mafia preman yang mencengkram mereka.
Tentu saja para mafia preman itu tidak akan membiarkan ladang rezeki mereka, yang diperoleh dengan jalan memeras orang lain, hilang perlahan-lahan. Mereka akan mempertahankan pendapatan mereka itu dengan segala cara, biasanya dengan kekerasan.
Padahal, jika saja orang-orang miskin tidak dicengkram mafia, pendapatan mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sisa dari pendapatan mereka bisa ditabung untuk digunakan membina masa depan yang lebih baik.
Pertanyaannya sekarang, siapa yang akan berperan sebagai Nabi Musa bagi mereka? Orang yang berani menghadapi para bos preman itu demi membebaskan orang-orang miskin tersebut. Dia bersedia membantu mereka keluar dari zona nyaman mereka (yang sesungguhnya tidak nyaman sama sekali) bagaikan Nabi Musa meyakinkan Bani Israil keluar dari Negeri Mesir menuju kebebasan dan kemerdekaan.
Tantangan yang dihadapi tentu bukan saja dari luar orang-orang miskin tersebut. Sikap mengasihani diri sendiri yang menjangkiti mereka sangat menyulitkan orang-orang yang berperan sebagai Nabi Musa untuk mereka. Para “juru selamat” itu tidak akan mampu menyelamatkan diri kaum miskin papa itu apabila mereka membangkitkan semangat dalam diri mereka sendiri.
Orang-orang yang mengasihani diri sendiri menganggap diri mereka sebagai korban. Mereka cenderung menyalahkan segala hal di luar mereka sebagai penyebab kemiskinan hidup mereka. Sulit sekali membangkitkan jiwa mereka untuk mempersiapkan diri meraih masa depan yang gemilang. Kira-kira seperti itulah dahulu Nabi Musa menghadapi Bani Israel di Mesir Kuno.
Para trainer dari Institut Kemandirian selalu menekankan bahwa hidup ini memang untuk menjalani yang susah-susah. Itulah syarat yang diperlukan untuk meraih kesuksesan, baik di dunia ataupun akhirat.
KotaSantri.com © 2002-2023