HR. At-Tirmidzi : "Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu. Maka barangsiapa mengambil warisan tersebut, ia telah mengambil bagian yang banyak."
Alamat Akun
http://shardy.kotasantri.com
Bergabung
1 Maret 2009 pukul 13:00 WIB
Domisili
Dhoha -
Pekerjaan
Tulisan Syaifoel Lainnya
Bergumul dengan Syetan
20 Juli 2013 pukul 21:00 WIB
Impossible
29 Mei 2013 pukul 19:00 WIB
Hanya Pintar, Pasti Keblinger
11 Mei 2013 pukul 19:00 WIB
Menikmati Kenikmatan
17 April 2013 pukul 21:30 WIB
Membayar Magang, Kembali ke Zaman Jahiliyah
16 Maret 2013 pukul 15:00 WIB
Pelangi
Pelangi » Refleksi

Selasa, 27 Agustus 2013 pukul 18:00 WIB

Tidak Harus Kaya dan IQ Tinggi

Penulis : Syaifoel Hardy

Terkadang saya 'tersinggung' ketika seseorang mengatakan bahwa dia tidak ingin jadi orang kaya. Padahal, dalam sejarah, Rasulullah Muhammad SAW, sebenarnya beliau 'kaya'. Pada Hari Raya Haji saja misalnya, beliau sanggup korban dengan hewan Unta. Padahal harga unta jika dikurskan dengan nilai uang sekarang itu bisa sama dengan mobil sedan.

Demikian pula kisah Nabi Sulaiman AS yang sangat kaya. Istananya ada yang berlapis emas. Sahabat Rasul, Sayidina Utsman bin Affan RA serta Abdurrahman bin Auf juga kaya raya.

Mereka ini, bukan hanya tokoh-tokoh besar dalam Islam yang kaya. Mereka juga orang pintar yang menjadi panutan, yang sangat peduli dengan sesama dengan berbuat kebaikan!

Sayidina Ustman RA bisa mendonasikan 1000 ekor unta dan 70 kuda pada saat Perang Tabuk. Amalan ini tidak bakal mampu dilaksanakan apabila beliau miskin.

Dengan kekayaan, kita bisa penuhi fasilitas hidup demi perkembangan pribadi, profesi, hingga pemenuhan kebutuhan sosial masyarakat sampai ke tingkat negara. Dengan harta, kita bisa menggapai angan, misalnya berniat menunaikan Rukun Islam ke-5, yakni Haji, ke Mekkah. Dengan kekayaan atau kepintaran, kita bisa leluasa jika ingin berbuat baik, dengan membantu orang lain.

Sayangnya, banyak orang kaya atau pintar (ber-IQ tinggi) yang kita ketahui dan kenal, kurang pandai memanfaatkan potensi mereka. Sehingga tidak jarang, bukan mereka yang mengendalikannya, namun sebaliknya, mereka yang diperbudak oleh harta dan IQ mereka.

Na'udzubillah!

Adalah Yono, sebut begitu namanya. Saya mengenalnya di tahun 1996. Waktu itu kami sekolah bareng, tugas belajar di Makassar. Kami sama-sama berasal dari sebuah instansi Pemerintah. Bedanya, Yono senior, beberapa tahun di atas saya usia dan pengalamannya. Yang membedakan lagi, Yono, secara finansial, jauh lebih mapan ketimbang saya.

Sebelum memeluk Islam, saya dengar dari seorang temannya, yang juga cukup dekat dengan saya, bahwa Yono rajin menyumbangkan 2.5% dari gajinya untuk tempat ibadahnya. Sebuah sikap yang sungguh terpuji yang patut ditiru.

Padahal saya tahu, Yono nggak pinter-pinter banget di kampus. Dia bahkan sering ngulang setiap ujian. Malahan saya sering duduk di sebelahnya untuk 'membantu' kesulitan menjawab soal-soal. Skripsinya saya turut pegang peranan. Pendeknya, suatu hari dia sempat stres berat dan ingin pulang hanya karena beban kampus ini.

Satu hal yang dimiliki Yono, yakni rajin berbuat kebaikan serta membantu sesama. Guna melakukannya, ternyata Yono tidak harus pintar di sekolah!

Yono mungkin memiliki duit. Tetapi Yanto, yang saya temui di Tulungagung, sungguh sangat beda. Sangat sederhana hidupnya. Hanya dengan berjualan mracangan, bapak dua anak ini setiap hari memilah-milah hasil dagangannya, antara lain untuk diri dan keluarganya, untuk amal dan zakat serta Lebaran. Hanya berbekal berpendidikan rendah, mampu berbuat baik dan bijak secara terstruktur!

Yang ingin saya bagi di sini hanya satu, sebagai kesimpulan. Bahwa untuk berbuat kebaikan atau kebajikan itu ternyata tidak harus jadi orang pintar atau kaya. Apalagi punya IQ tinggi. Memang ideal sekali jika kita bisa pintar, ber-IQ tinggi serta kaya!

Di negeri ini, jumlah orang pintar, ber-IQ tinggi juga kaya, sudah bejibun. Ironisnya, mengapa jumlah koruptor malah tidak menurun? Demikian pula KKN, termasuk kemiskinan, nyogok, polusi, pelecehan, penipuan serta berbagai kriminalitas lainnya.

Sungguh memprihatinkan. Makin banyak yang kaya dan pintar serta ber-IQ tinggi, mengapa harus diikuti mahalnya pendidikan dan ongkos kesehatan?

Ini adalah contoh konkrit ketimpangan dalam kehidupan masyarakat kita dalam berbuat kebaikan atau kebajikan kepada sesama.

Intinya, tidak ada jaminan bahwa orang pintar, ber-IQ tinggi serta kaya, itu suka berbuat kebaikan atau kebajikan. Sebaliknya, berbuat baik atau bijak itu amat universal, dan bisa dilakukan oleh siapa saja, di mana saja, serta kapan saja! Tidak harus didominasi oleh mereka yang kaya dan atau pintar!

So, bila ingin berbuat baik, jangan tunggu menjadi kaya. Apalagi, bergelar sarjana dengan IP di atas angka tiga!

Suka

Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Syaifoel Hardy sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.

Prof | Cloth Design
Moga KotaSantri.com bisa jadi situs Jejaring yang Populer n meng-Global! Amin!
KotaSantri.com © 2002 - 2024
Iklan  •  Jejaring  •  Kontak  •  Kru  •  Penulis  •  Profil  •  Sangkalan  •  Santri Peduli  •  Testimoni

Pemuatan Halaman dalam 0.0904 Detik

Tampilan Terbaik dengan Menggunakan Mozilla Firefox Versi 3.0.5 dan Resolusi 1024 x 768 Pixels