Ali Bin Abi Thalib : "Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan, tapi ilmu bertambah apabila dibelanjakan."
|
![]() |
http://twitter.com/bayugawtama |
Kamis, 25 Juli 2013 pukul 19:00 WIB
Penulis : Bayu Gawtama
Beberapa tahun lalu, saya mengenal Mas Ben, sebut saja begitu, seorang tukang gambar di sekitar Pasar Baru, Senen, Jakarta Pusat. Mas Ben, lelaki berkumis tipis dengan perawakan yang kurus senantiasa siap sedia di pinggir jalan di depan Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), untuk melayani para pelanggan yang memesan gambar kepadanya. Lelaki itu sangat mahir menggambar wajah seseorang, dan biasanya memang gambar-gambar wajahlah yang lebih sering dipesan pelanggan.
Tak butuh waktu lama, hanya beberapa goresan singkat sebuah sketsa wajah sudah terlihat di kanvasnya. Hanya saja, memang itu belum selesai karena harus dipoles dan dirapihkan. “Belum, ini kan cuma sketsanya saja,” ujar Mas Ben singkat sambil tangannya terus asyik memainkan pensil gambarnya.
Saat itu, saya pernah iseng bertanya satu hal yang mungkin saja akan membuatnya tersinggung. Tapi karena saya sudah kadung penasaran, maka pertanyaan itupun terlontar, “Menurut, Mas, apa bedanya tukang gambar dengan seniman?” sambil memperhatikan wajahnya, berubah merah atau …
Ternyata Mas Ben hanya tersenyum, sesekali memandang saya, kemudian kembali asyik menggoreskan alat-alat gambarnya. Raut wajah di atas kanvasnya mulai terlihat rapih. “Ya tentu saja banyak bedanya,” tuturnya tanpa merinci perbedaan yang dimaksud. Jelas membuat saya tambah penasaran dan kemudian melontarkan pertanyaan lanjutan.
“Jadi, bedanya apa?”
Mas Ben pun meletakkan alat gambarnya, dan membetulkan posisi duduknya ke arah saya. Nampaknya ada hal serius yang ingin disampaikan lelaki itu.
“Tukang gambar itu, melakukan pekerjaannya demi uang. Seniman tidak, ia tidak peduli apakah karyanya itu akan menghasilkan uang atau tidak. Itu pertama. Yang kedua, tukang gambar bekerja sesuai pesanan, alias by order. Jadi kadang tukang gambar itu takut kalau hasil karyanya tidak sesuai pesanan. Sedangkan seniman, ia berkarya kapanpun ia mau, tidak peduli ada yang memesannya atau tidak. Nah yang ketiga, seniman sangat menjiwai pekerjaannya, ia bekerja by soul, karenanya hasil karyanyapun bernilai sangat tinggi. Coba lihat tukang gambar, hasil gambarnya paling-paling berkisar puluhan atau ratusan ribu,” jelasnya.
Saya sempat terkesima, namun sesaat kemudian bertanya kembali, “kalau Mas Ben, seniman atau tukang gambar?”
Lelaki dengan kumis tipis itupun tersenyum, “Inilah kendalanya, kadang saya ini seniman yang melukis sesuatu tanpa peduli apakah karya saya ini akan dihargai orang atau tidak. Tetapi sesekali orang lain membuat saya ini tak lebih sekadar tukang gambar. Contohnya ini, seseorang yang minta dibuatkan lukisan wajahnya."
Jadi, menurut Mas Ben, orang di luar dirinya yang kadang memposisikannya hanya sebatas tukang gambar, misalnya dengan minta dibuatkan gambar tertentu, tetapi instruksinya terlalu berlebihan seolah si pemesan itu seorang maestro. “Padahal saya lebih tahu bagaimana menghasilkan sebuah karya yang baik,” tukasnya.
“Lalu kenapa Mas Ben masih mau terima order melukis wajah orang?” Mendengar pertanyaan ini, lelaki itu tertawa ringan dan, “Ini sih soal lain, seniman juga butuh makan.”
Oalaah Mas, ternyata di sinilah letak kelemahan setiap manusia. Kalau sudah berurusan dengan perut, kadang lupa sama idealisme. Padahal saya sempat salut dengan konsepnya tentang sebuah profesi dan pekerjaan. Bahwa apapun profesi seseorang, semestinya dikerjakan layaknya seorang seniman. Bekerja tanpa paksaan, tanpa mengharapkan pujian dan penghargaan, juga tanpa ketakutan melakukan kesalahan.
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Bayu Gawtama sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.