HR. At-Tirmidzi : "Pena (takdir) telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering, apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa kemenangan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan."
|
![]() |
http://dik2.multiply.com |
![]() |
andhika.ramdhan |
![]() |
ramadhan_adhi |
![]() |
andhika.ramdhan@gmail.com |
![]() |
andhika.ramdhan@gmail.com |
![]() |
http://twitter.com/AndhikaRamdhan |
Sabtu, 14 Januari 2012 pukul 10:00 WIB
Penulis : Dikdik Andhika Ramdhan
"Munafik lo!"
"Lo yang dulu bilang ke gua harus gini, harus gitu, gak boleh gini, gak boleh gitu!"
"Tapi mana buktinya?"
"Sekarang malah lo sendiri yang malah ngelakuin itu semua!"
"Nyesel gua nurutin apa kata lo!"
Sederet kekecewaan tentunya menyertai ungkapan-ungkapan seseorang di atas. Bisa kita rasakan betapa kecewanya ia, ketika harus rela suatu waktu menemukan seseorang yang dulu pernah ia jadikan teladan, atau mungkin ia sempat berikan sanjungan, atau mungkin juga malah pernah ia berikan ruang mengisi ruang di dalam jiwanya, ternyata kini mengecewakan ia.
Wajar memang, kitapun tak sedikit merasakan hal yang sama setiap kali berada dalam kondisi seperti itu. Namun, apakah ini menjadi sebuah akhir? Dan membiarkan kekecewaan itu menjadi sebuah titik finish yang akan menghentikan semua jalinan persaudaraan kita dengan orang tersebut?
Saya kira terlalu jahat jika kita bersikap demikian.
Saya jadi teringat beberapa waktu yang lalu, ketika sayapun merasakan hal seperti ini. Sungguh, inginnya diri ini hendak memvonis dia. Namun, sepertinya malah aneh jadinya, ketika tak ada satu rasa pengertian dari kita. "Wong, dia juga manusia to?"
Ya, tak akan pernah ada manusia yang sempurna di dunia ini. Dari dulu bahkan sampai saat ini, ketika Allah SWT masih dengan ke-Mahakuasa-annya menegakkan gunung-gunung, menghamparkan bumi sebagai pijakkan kaki para ummat-Nya, serta meninggikan langit sebagai cakrawalanya, tak ada dan kiranya tak akan pernah ada manusia sempurna itu. Bahkan ia seorang Rasul Allah pun pernah berada dalam satu kekhilafan. Memang, manusia lebih sempurna jika dibandingkan dengan mahluk ciptaan Allah yang lain, namun bukan berarti ia seorang manusia tak pernah memiliki satu kekurangan. Satu saat, satu waktu pasti akan ada kekeliruan. Hanya tinggal kita manusia untuk berusaha meminimalkan semua kesalahan serta kekeliruan dalam berbuat dan bersikap.
Satu pertanyaan yang tertinggal adalah apakah ketika kita menemukan satu kesalahan dalam sikap seseorang kita hanya akan diam dan membiarkan ia larut dalam kekeliruannya? Lalu kita dengan tanpa dosa mengarahkan telunjuk kita ke wajahnya sambil berucap bahwa ia sang munafik? Kemudian kitapun segera beralih kembali menemukan dunia kita yang dulu, dunia yang kelam, dunia yang padahal beberapa waktu yang lalu sedikit demi sedikit sudah mulai terkikis untuk berganti ke dalam cahaya terang syiar Islam?
Sahabat...
Kiranya tak usah menunggu mentari esok pagi jika senja itu masih ada. Kiranya akan lebih bijak jika kita bersikap untuk saling mengingatkan. Karena memang di sinilah Islam berada, di mana nilai kebersamaan dalam meniti langkah menuju kemanisan iman itu akan jauh lebih berarti jika kita rasakan bersama dibandingkan dengan jika kita mementingkan ego masing-masing individu diri kita.
Tak ada salahnya jika memang ia keliru, kita coba tegur ia dengan satu cara bijak. Kita coba luruskan kembali satu temali yang sempat tersimpul itu. Sebelum semua kemudian terlanjur dan temali itu terlipat kaku.
Indah rasanya jika kita dapat saling memberi dan menerima, saling mengingatkan agar senantiasa berada dalam kebenaran.
Buktikan kepada ia, bahwa semestinya bukan seperti itu ia berbuat seharusnya. Ingatkan ia. Insya Allah, andaikan memang apa yang kita harapkan ia untuk kembali tak lagi kita dapati, namun percayalah ia sang Malaikat Raqib telah menuliskan satu lagi lagi amalan kebaikan dalam buku catatan kehidupan kita.
Genggamlah tangannya, rengkuhlah bahunya, bimbing ia kembali melangkah bersama. Katakan padanya bahwa, karena hari ini aku masih sahabatmu.
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Dikdik Andhika Ramdhan sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.