HR. Ibnu Majah dan Abi Ad-Dunya : "Secerdik-cerdik manusia ialah orang yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling gigih membuat persiapan dalam menghadapi kematian itu."
|
![]() |
http://hifizahn.multiply.com |
Jum'at, 2 September 2011 pukul 14:29 WIB
Penulis : Hifizah Nur
Matahari bersinar terik. Suhu di luar mobil sekitar 35 derajat. Alhamdulillah, nyala AC di dalam mobil membuat perjalanan kami di pertengahan bulan Ramadhan ini menjadi nyaman, meskipun sinar matahari tetap membuat dek Hafiz, yang duduk di depan bersama si Abi, mengeluh karena kepanasan.
Kami sedang dalam perjalanan menuju Hamamatsu untuk memenuhi undangan buka puasa bersama. Kota di pinggir pantai di Jepang bagian tengah itu memang cukup banyak menampung para pekerja dari Indonesia. Dan kebetulan juga adik saya, yang sedang menjalani studi di Sizuoka University, tinggal bersama isteri dan si kecil Aziz kun di sana.
Rasa kangen yang membuncah, membayangkan pipi putih yang montok si Aziz, celoteh tak bermakna yang sudah mulai keluar dari mulut mungilnya, membuat saya tak sabar, ingin cepat sampai ke sana.
Perjalanan memakai jalur 23 melewati kota Toyohashi, dilanjutkan dengan menyusuri pesisir pantai jalur 1.
Di Jepang, semua jalan memakai nomer/angka. Misalnya jalur 1 adalah jalan negara yang membentang menghubungkan kota Tokyo dengan kota-kota di Jepang bagian tengah. Jadi kalau kita memakai jalur 1 dari Tokyo, meskipun tidak secepat jalan tol, insya Allah akan bisa sampai ke Nagoya, Kyoto, dan Osaka. Cocok untuk perjalanan wisata santai yang tidak diburu waktu.
Perjalanan kami diisi dengan obrolan santai, kadang diselingi pertengkaran kecil si Dedek dan Kakak. Setelah melewati Toyohashi, kami masuk ke jalur 1, melewati pesisir pantai laut Pasifik.
Alunan nasyid lembut mengiringi perjalanan kami. "a.. Umi da.." Aku menunjuk ke sebelah kanan mobil. Hanya berjarak beberapa ratus meter terbentang luas laut Pasifik yang membiru. Umi dalam bahasa Jepang, berarti laut dalam bahasa Indonesia.
Anak-anak dengan antusias melihat laut. Beberapa buah perahu juga terlihat berbaris di pinggir pantai.
Sejenak hening di dalam mobil, semua larut dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba aku teringat, baru berlalu beberapa bulan sejak terjadi gempa dan tsunami di daerah provinsi Miyagi, Touhoku Jepang. Sejenak bulu kudukku merinding, membayangkan, kalau saja kejadian tsunami itu tiba-tiba berlangsung.
"Nak, kalau saat ini terjadi tsunami, kita enggak bisa lari ke mana-mana, cuma bisa pasrah kepada Allah saja," cetusku tiba-tiba.
Si Kakak yang duduk di sampingku memandangku ngeri.
"Ummi.. kowai.." katanya, tubuhnya semakin merapat, tangannya semakin kuat melingkari pinggangku.
Aku memejamkan mata, merasakan ketakutan yang sama. Suasana di mobil serasa mencekam.
Kalau terjadi tsunami, tidak ada jalan lain untuk lari. Laut hanya berjarak beberapa ratus meter saja dari arah kanan kami.
Rekaman peristiwa tsunami yang aku lihat lewat internet kembali terbayang. Gelombang besar menerjang jalan dan gedung-gedung di pinggir pantai hanya dalam hitungan menit. Mobil-mobil yang sedang lalu lalang, terseret ombak sampai beberapa kilometer jauhnya. Kisah orang-orang yang berusaha menyelamatkan diri, terbawa arus gelombang tak berdaya.
Aku jadi merenung.
Kalau tiba-tiba ajal menjemput, apakah bekalku dan suami sudah cukup untuk ditukar dengan syurganya Allah? Rasanya, amal kebaikan ini masih sangat sedikit, tidak bisa menjamin kami untuk bisa selamat di kehidupan sesudah mati nanti.
Kalau tiba-tiba malaikat Izrail datang, mencabut nyawa kami, apakah Allah ridha dengan perbuatan-perbuatan kami? Apakah Rasulullah bersedia mengakui kami sebagai umatnya di hari kiamat nanti? Sementara hanya berapa persen dari hidup kami yang sesuai dengan syari'at Islam yang dibawanya.
Terbayang waktu yang sia-sia berlalu tanpa manfaat. Terbayang perkataan dan perbuatan yang menyakiti hati orang-orang di sekeliling kami. Terbayang amal-amal yang kadang tidak bersih dari rasa bangga dan riya, mengharapkan pujian dari orang lain.
Apakah semua dosa kami cukup dibayar dengan istighfar menjelang kematian? Itupun kalau lidah kami sanggup mengucapkannya di sela-sela dahsyatnya kematian.
"Ummi..." si Kakak menggoyang-goyangkan tubuhku.
Aku bisa merasakan ketakutan yang sangat di matanya.
Tidak ingin membuatnya khawatir, aku tersenyum. "Enggak apa-apa kak, kalau anak kecil meninggal, insya Allah langsung masuk syurga." kataku memandang matanya, lembut. "Yang menjadi masalah itu, Ummi dan Abi, apa bisa langsung masuk syurganya Allah atau enggak." tuturku sedih.
"Tapi insya Allah, kalau kakak dan dedek jadi anak shalih, kita bisa di syurga sama-sama," sambungku. Do'a anak yang shslih, bisa menjadi pemberat timbangan kebaikan orangtua di akhirat kelak.
Aku tidak ingin anak-anak ketakutan sepanjang perjalanan. Pembicaraan kualihkan ke topik yang lain.
Namun, benakku masih menyimpan ketakutan.
Ramadhan ini, apakah Sang Penguasa hari kiamat berkenan mengampuni dosa-dosa kami?
Ya Rabb, hanya kepada Engkaulah kami berharap, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.
Semoga Allah menghimpunkan kita di dalam jannahnya.
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Hifizah Nur sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.