HR. Ad-Dailami : "Alangkah baiknya orang-orang yang sibuk meneliti aib diri mereka sendiri dengan tidak mengurusi aib orang lain."
|
![]() |
http://hifizahn.multiply.com |
Sabtu, 27 Agustus 2011 pukul 08:00 WIB
Penulis : Hifizah Nur
Apa tujuan pendidikan di Indonesia? Mungkin hanya Menteri Pendidikan yang tahu jawabannya. Sistem pendidikan di Indonesia sangat unik, setiap berganti Menteri Pendidikan, berganti pula kurikulum sekaligus buku pegangan wajib bagi siswa. Belum lagi sistem terakhir yang digunakan beberapa tahun terakhir ini, dimana nilai kelulusan siswa hanya diukur dengan nilai 3 mata pelajaran, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan Matematika. Itupun hanya di akhir tahun. Kerajinan murid hadir ke sekolah selama tiga tahun, kebaikan akhlaknya, kemampuannya dalam mata pelajaran lain, keterampilan dan olah raga misalnya, sama sekali tidak ada nilainya jika nilai ujian akhir di tiga mata pelajaran tersebut anjlok.
Pendidikan seperti kehilangan ruhnya. Sekolah yang seharusnya bisa berfungsi sebagai pembentuk karakter-karakter kebaikan -selain mengasah kemampuan berpikir- belakangan ini semakin sulit untuk ditemukan. Terutama bila para guru tidak memiliki misi untuk itu. Gaji yang kecil dengan kebutuhan hidup yang tinggi, membuat para guru kebanyakan tidak mungkin berkonsentrasi hanya pada mengajar saja, tetapi harus mencari tambahan untuk menghidupi diri dan keluarga sehari-hari. Belum lagi belakangan ini, profesi guru bukan lagi sebuah profesi yang prestisius seperti di jaman Umar Bakri dahulu.
Mungkin ini pulalah yang membuat generasi muda sekarang semakin mudah terjerumus dalam pergaulan yang tidak baik. Narkoba dan seks bebas sudah menjadi santapan sehari-hari. Belum lagi bentuk kenakalan lain yang terbilang kecil, tapi menunjukkan belum terbentuknya karakter kebaikan dalam diri seseorang. Terutama karena media massa berpengaruh lebih kuat dari pada pengaruh sekolah.
Dahulu, ada pelajaran PMP/PPKN, yang meskipun dasarnya tidak kuat, masih ada sedikit nilai-nilai moral yang diajarkan. Inipun sebenarnya memiliki masalah besar karena para guru kebanyakan sama sekali tidak menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang dilandasi oleh Pancasila. Bisa dikatakan nilai-nilai moral Pancasila ini hanya hapalan untuk mencapai kelulusan di sekolah saja.
Saya teringat kisah seorang ustadz yang pernah menjadi santri di sebuah pesantren tradisional. Pesantren ini, mungkin tidak banyak mengajarkan skill-skill kehidupan seperti Matematika atau Bahasa Inggris, tetapi pola pendidikannya sangat bagus untuk dicontoh oleh sekolah-sekolah yang ingin mengembangkan karakter anak-anak didiknya. Caranya bagaimana? Di Pesantren tempat ustadz tersebut nyantri, bila ada anak yang bersalah melakukan suatu kenakalan, hukuman menjadi alternatif terakhir yang dilakukan para ustadznya untuk memperbaiki kenakalan tersebut. Yang pertama kali dilakukan oleh sang ustadz adalah, mendatangi anak tersebut, mengelus-elus kepalanya sambil mendo'akan kebaikan bagi sang santri. Bila tidak mempan, sang ustadz mengajak seluruh ustadz-ustadz yang lain bangun malam, tahajud, dan bersama-sama mendo'akan sang santri agar perilakunya menjadi lurus kembali. Suatu pola pembentukan karakter yang sudah sangat jarang dilakukan di banyak sekolah saat ini.
Ini hampir sama dengan pola pendididikan yang dilakukan oleh Rasulullah kepada seorang pemuda yang meminta izin berzina. Rasulullah tidak marah, karena beliau paham betul gejolak yang sedang dialami oleh anak muda itu. Beliau hanya balik bertanya, "Apakah engkau rela bila ibumu atau saudara perempuanmu dizinahi oleh orang lain? Tentu saja tidak bukan? Begitu juga orang lain, tidak akan rela bila ibunya atau saudara perempuannya dizinahi olehmu." Lalu Rasulullah mengusap dada anak muda itu seraya mendo'akannya agar diberikan hati yang bersih.
Saya percaya, Islam dengan ideologinya yang sempurna, bisa menjadi landasan pembentukan karakter yang kuat untuk anak-anak didik bila sang guru meyakini dan menerapkannya. Selain itu, yang paling penting juga sang guru mau mengajarkannya kepada mereka.
Hmm... Masih banyak yang ingin ditumpahkan sebenarnya, tapi rasanya hati ini sudah lelah menulisnya. Saya sendiri, belum tentu sanggup menjadi guru yang bisa membentuk karakter anak didik menjadi baik. Ah... Bahkan, saat ini pun saya belum berprofesi sebagai guru, baru sebatas keinginanan di masa depan.
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Hifizah Nur sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.