Pelangi » Refleksi | Sabtu, 4 April 2009 pukul 16:09 WIB

17 Juta, Aku Kaya?

Penulis : Meralda Nindyasti

Entah bagaimana ceritanya, akhir bulan lalu aku merasa tercekik oleh perbuatan sendiri. Dua minggu sebelum tanggal 31 Maret 2008, aku sudah tidak bisa lagi mengambil uangku yang ada di ATM Swasta Nasional. Tak lain alasannya karena saldo uangku di bank sudah di bawah nominal 50 ribu.

Aku bingung, dua minggu ke depan harus makan apa dan dapat uang dari mana. Bulan ini aku sungguh tak bisa mengontrol keluar-keluarnya uang dari saku dan dompetku. Heran terhadap diri sendiri, mahasiswa semester 4 macam apa dalam tempo 2 minggu sudah bisa menghabiskan uang di atas setengah juta? Namun sungguh, tak kuniatkan sedikit pun untuk merengek meminta uang transferan pada papa. Cukup, aku harus terima konsekuensinya!

Kuputuskan untuk mengambil sejumlah uang dari bank syari'ah yang berisi uang tabunganku untuk ke tanah suci. Ragu, sungguh aku ragu. Uang ini insya Allah kuniatkan untuk masa depan, tapi dipakai sebelum waktunya. Justru karena akulah yang lalai terhadap hidupku!

Belajar mengenal diri sendiri, aku terkesima dengan nominal yang kutemui. Sehari, aku sanggup menghabiskan 12 ribu rupiah untuk makan pagi, siang, dan malam. Dalam sebulan, sudah habis 360 ribu. Kalau dikalikan 12 bulan, berarti dalam setahun ada jatah 4,32 juta untuk menghidupi tubuhku. Itu artinya, pada akhir tahun ke-4 (ideal kuliah di Perguruan Tinggi di Indonesia), aku adalah anak kost yang menghabiskan 17,28 juta hanya untuk mengisi perut kecilku.

Innalillah... Ampun, sungguh aku mohon ampun... Betapa Allah melapangkan rejeki bagiku dan keluargaku. Sekali lagi, aku mahasiswa yang belum berpenghasilan. Melihat dalam tempo 4 tahun, aku menghabiskan 17-an juta hanya untuk makan dan minum, hanya untuk menambah atau pun menurunkan berat badan, dan bisa jadi hanya untuk memuaskan nafsu kenyang. Ah, betapa ini sungguh tak sebanding!

Aku masih belum tega melihat nominal 17,28 juta dalam kalkulatorku. Angka itu sungguh dahsyat! Apa itu artinya dengan berani aku mengatakan, "Aku kaya?" Tidak, kawan. Kaya bukan dalam nominal uang yang aku gunakan untuk keegoisan diriku sendiri. Kaya bukan dalam takaran seberapa banyak aku menimbun kemakmuran pribadi untuk jiwa lemahku ini.

Duhai, Rabb. Apa kelak aku bisa mempertanggungjawabkan, dari sekian banyak rejekiMu, telah seberapa sering aku mengajak anak jalanan merasakan nikmatnya makanan yang kumakan, kala sehari-harinya mereka merintih pedih menahan lapar dari siang sampai malam?

Apa kelak aku bisa mempertanggungjawabkan, dari sekian banyak rejekiMu, telah seberapa sering aku menyisihkan uang saku untuk sekadar memberi anak-anak yatim piatu hadiah-hadiah mungil penghibur hati, kala mama dan papaku begitu rutin melantunkan do'a dan menghadiahkan kado tercantik saat hari kelahiranku?

Terkadang aku berpikir, haruskah semua kenikmatan dunia ini diukur dalam bentuk nominal uang, agar lebih mudah kita mencerna bahwa Allah telah melapangkan dan menundukkan semua ini untuk kita?

Maka, nikmat Tuahnmu manakah yang kamu dustakan? (QS. Ar-Rahman : 13).

KotaSantri.com © 2002-2024