Pelangi » Refleksi | Ahad, 22 Februari 2009 pukul 03:20 WIB

Bukan Cinta pada Segenggam Yen

Penulis : Lizsa Anggraeny

"Ada uang Abang sayang, tak ada uang Abang melayang." Entah bercanda atau tidak. Namun, setidaknya itulah yang selalu dilontarkan salah seorang sahabat saya ketika ditanya bagaimana ia bisa menikah dengan suaminya. Pria berumur sekitar 50 tahunan, warga negara Jepang, yang kemudian berganti nama menjadi Muhamad Rasyid setelah pernikahan.

Sebagai perempuan, ia masih muda, cantik dengan perawakan badan tinggi langsing. Tak perlu mencari pria dengan perbedaan umur mencolok 20 tahun, toh pria sebaya ataupun beberapa tahun saja di atasnya tentu banyak yang tertarik. Menanggapi keheranan saya, perempuan anggun itu paling akan kembali menjawab sambil seyum bercanda, "Ada uang Abang sayang, tak ada uang Abang melayang. Nikah sama Abinya anak-anak karena alasan ekonomi. Kalau dia ngga punya uang, ngga mau nikah." Jawaban yang selalu diiringi senyum, seolah menertawakan kepolosan jawabannya sendiri.

Memandang sahabat yang satu ini, sering sekali saya terkagum-kagum. Memberikan acungan jempol untuk niat dan perjuangannya bertekad membangun keluarga Islami meski tinggal di negeri yang lingkungannya tidak Islami. Dimana semua serba bebas, pergaulan anak muda bebas, hidup bersama sebelum pernikahan bebas, begitu pun media-media masa yang menjurus pornografi terjual bebas.

Menikah dengan mualaf Jepang yang karakternya telah dibangun oleh sifat permisif bebas, tidak sedikit jurang perbedaan yang harus dititi. Dari mulai mencoba mengerem kebiasaan minum-minum 'sake' yang sudah menjadi tradisi suami, mengajarkan bahwa Tuhan itu hanya satu, Allah SWT, dan bukan banyak dewa, sampai membimbingnya shalat yang menjadi tiang aqidahnya yang baru.

"Mendokusai na musurimu nante (Repot banget sih jadi muslim...)."
"Kore wa dame. Sore mo dame. Are mo dame (Ini nggak boleh. Itu nggak boleh. Ini itu nggak boleh)."

Tak jarang suaminya berkomentar tidak suka ketika sang istri berusaha mengenalkan beberapa makanan halal. Pun ketika mengingatkannya untuk membaca terlebih dahulu ingredients makanan atau cemilan ketika akan membeli di supermarket. Rutinitas wara tersebut dianggapnya merupakan hal yang percuma, buang-buang waktu.

Dan tak semudah itu pula sang suami bisa percaya akan pemahaman aqidah barunya. Terlebih jika dilihat usia, sang suami sudah tidak lagi muda, hingga sulit menerima perubahan-perubahan yang baru. Pun menjadi muslim hanya karena pernikahan awalnya. Tentu saja ajaran sang istri yang memberitahukannya tentang Allah SWT, Rasulullah SAW, shalat, puasa, serta makanan halal haram, menjadi hal yang paling merumitkan. Hingga tak jarang bentrokan terjadi hanya karena salah paham atas jalan pemikiran masing-masing.

Tahun ini, merupakan tahun kelima pernikahan sahabat saya dengan suami Jepang tersebut. Banyak sekali perubahan-perubahan yang telah saya saksikan pada diri sang suami, juga dua buah hatinya yang masih kecil-kecil.

"Hora, Abi Imam deshou (Ayo, Abi kan Imam)."

Pernah saya terharu ketika sahabat saya, yang memanggil suaminya Abi, mengingatkan untuk menjadi Imam, saat akan shalat berjama'ah. Pria setengah baya tersebut dengan yakinnya membentangkan sajadah di depan kami, lalu melirik ke belakang sebentar untuk memastikan shaf, hingga lalu bertakbir.

Masya Allah, ada getaran haru ketika kumandang Allahu Akbar ke luar dari pria tersebut. Saya makin larut haru ketika mendengar bait-bait beberapa surat Al-Qur'an dijaharkan saat mengimami shalat. Lidah kelu Jepangnya sudah mulai fasih melafalkan beberapa surat. Dalam hitungan lima tahun, buah hasil perjuangan sahabat saya mulai nampak terlihat. Tentu bukan hal yang mudah mendobrak tradisi suami yang telah lama melekat.

Pun begitu dengan buah hatinya. Saya sering dibuat kagum oleh gadis kecilnya yang masih berusia lima tahun. Pernah ketika saya bertandang ke rumahnya dan mengajak gadis kecil tersebut bermain di luar, ia nampak sibuk sendiri mencari sesuatu.

"Hijab... Hijab... Hijab..."

Rupanya, si kecil tak mau jika ke luar tanpa mengenakan hijab penutup kepala. Begitu pun ketika gadis kecil tersebut menginap di rumah saya. Saat ke kamar mandi, sebelum tidur, sebelum makan, atau sekecil apa pun aktivitas, tak pernah lupa mulut kecilnya mengucapkan do'a.

"Alhamdulillah, ya Ammah, hari ini cerah," pernah ucapan kecilnya menimpali ketika saya mengajaknya berjalan-jalan, selepas hari hujan. Ada selusup kebanggaan yang merekah di hati. Gadis kecil dengan usia dininya, telah begitu terpola untuk Islami dalam kehidupan. Tak canggung dengan lingkungan yang kadang melihatnya terheran-heran dengan jilbab kecilnya berkibar-kibar tertiup angin.

Saya percaya, perempuan anggun sahabat yang satu ini menikah tak semata karena alasan ekonomi. Bukan cinta berlandaskan segenggam ataupun setumpuk yen, seperti yang sering diucapkannya, "Ada uang Abang sayang, tak ada uang Abang melayang." Karena saya melihat, kehidupannya begitu sederhana dengan rajin menderma.

Pernikahan dan kehidupannya memberikan warna tersendiri di negeri sakura. Menjadi contoh mampu terbentuknya awal peradaban Islam yang kokoh di negeri minoritas. Mungkin, itu pula yang menjadi alasan utama, kenapa sahabat saya mau menerima pinangan seorang pria Jepang dengan perbedaan usia mencolok saat itu. Ada niat mulia yang sedang dibangunnya. Ingin menjadi mujahidah yang melahirkan jundi jundilah pejuang tegaknya Islam di negeri sakura, melalui pernikahan.

Semoga Allah SWT mencatat setiap rasa syukur dan keikhlasan sahabat saya, dalam menemani sang samurai meniti hidayahNya di negeri sakura.

KotaSantri.com © 2002-2024