QS. Al-'Ankabuut : 64 : "Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui."
|
![]() |
http://dik2.multiply.com |
![]() |
andhika.ramdhan |
![]() |
ramadhan_adhi |
![]() |
andhika.ramdhan@gmail.com |
![]() |
andhika.ramdhan@gmail.com |
![]() |
http://twitter.com/AndhikaRamdhan |
Selasa, 17 Februari 2009 pukul 03:20 WIB
Penulis : Dikdik Andhika Ramdhan
Tak sedikit orang justru kalah dan menyerah ketika keadaan menyeret mereka pada keterpurukan dan kesusahan yang teramat sangat. Namun sepertinya tidak bagi beliau. Di simpang jalanan itu, beberapa tahun yang lalu, sering kali aku bertemu dengan beliau, saat-saat putih abu masih menempel di badan ini.
Ketika pagi menjelang atau siang mulai merayap ke ujung senja, di simpang jalanan itu, beberapa tahun yang lalu, namun ternyata hingga kini pun belum berubah, ketika kudapati seorang bapak masih mengayuh becak tua-nya sambil diiringi dengan nyanyian-nyanyian kecil di bibirnya. Mang Usman, seorang lelaki yang kini mulai beranjak tua, namun sisa-sisa tenaganya masih terlalu perkasa untuk hanya sekedar mengayuh becak tua-nya melintasi jalanan desa menembus hingga ke pasar di kota kecamatan sana.
Sering kali aku dibawanya ketika kebetulan kami mengarah ke arah yang sama. Sambil berbincang di sepanjang perjalanan, ia selalu berkata tentang pengharapannya bagi anak-anak negeri. Ia bilang kalau nanti siapa tahu di antara kami ada yang sudah jadi presiden, mudah-mudahan kami tidak akan melupakan orang-orang yang seperti dirinya, katanya. Aku hanya tertawa saat itu.
Tinggal di sebuah rumah mungil bersama dengan satu orang istri dan dua orang anak, ternyata tidak menjamin beliau hidup sejahtera, seperti yang didengung-dengungkan pemerintah selalu. Setidaknya jika aku lihat dari sudut pandang dan dari sisi ekonomi. Namun, yang aku cukup salutkan dari beliau adalah kegigihan serta keistiqamahannya dalam mengemban tugas sebagai seorang kepala keluarga. Dari pagi hingga hampir penghujung petang, beliau masih terus semangat menjemput rezeki.
Dan kini, kerinduan akan suasana itu telah menjadikanku untuk duduk di dalam becak tua-nya kembali, ketika matahari mulai condong ke ufuk barat. Ia menjawab sederhana, ketika kutanyakan apakah tak bosan mengayuh becak dari dulu hingga sekarang? "Jika ini adalah jalan rezeki untuk keluarga bapak, tentunya tak ada alasan bagi bapak untuk tidak mensyukurinya. Bukankah ini pun akan menjadi pengantar kita jika nanti tak ada lagi kesempatan buat kita hidup di dunia ini, untuk mengantar kita menuju surgaNya?" Aku hanya tersenyum.
Seperti jalanan yang kini telah membelah pematang hingga menjadi satu jalur utama menuju kampung kami, kiranya begitu pun apa yang dilakukannya hingga kini. "Percayalah, pak, aku yakin, apa yang telah bapak lakukan, sepanjang dengan niat tulus dan keikhlasan dalam rangka beribadah kepadaNya, insya Allah itu semua akan menjadi satu jalan menuju ridhaNya. Dengan izin Allah, masih akan ada jalan ke Surga bagi hamba-hamba yang selalu memohon ridhaNya," gumamku dalam hati.
Daun-daun padi di hamparan sawah yang berada di kanan kiri jalanan, kini seakan gemulai mengangguk-anggukkan tubuhnya. Angin senja yang meniup perlahan telah menambah kesunyian suasana di desa. Sementara di jauh sana, serombongan burung-burung pipit terbang membawa sisa-sisa jerami untuk dibuatnya rumah bagi mereka.
Ternyata memang benar, bukan dari sekedar hitung-hitungan harta untuk mengukur bahagia seseorang itu. Namun, sejauh mana seseorang bisa mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Allah baginya. Maka di sanalah letak kebahagiaan itu sesungguhnya.
Padahal aku tahu betul, beberapa tahun yang lalu. Dengan tinggal di sebuah rumah yang lebih mirip dikatakan (maaf) sebuah gubuk kecil beralas tanah, yang terkadang harus berjinjit jika musim hujan telah membawa air-air hujannya masuk ke bagian dalam rumahnya itu, beliau harus mampu berjuang bersama istrinya mengurusi seluruh anggota keluarganya. Belum lagi jika ternyata semakin hari persaingan pada lahan rizkinya semakin bertambah susah saja. Banyak orang lebih memilih menumpang ojek atau angkot daripada menumpang becak.
Aku kira itu akan meluluhkan semangat beliau. Tapi ternyata tidak. Allah telah menunjukkan kuasaNya, menjamin kehidupan atas ummatnya. Sekali lagi, aku salut pada beliau. Mang Usman memang bukan seorang sosok yang mampu menyulap negeri ini menjadi sebuah negeri yang makmur dalam satu balikan telapak tangan, namun dari semangat, keikhlasan, serta kesyukurannya telah jauh lebih dari hanya berbuat seperti itu, ia telah mampu menghadirkan berjuta butiran semangat lagi bagi kami yang terkadang terlalu mudah menyerah ketika satu kesulitan menghadang di depan perjalanan kehidupan ini.
Terima kasih, pak, meskipun mungkin sampai saat ini bahagia belum juga menghampiri bapak dan keluarga di dunia ini, namun semoga semua ini akan terganti kelak di Surga Allah, seperti yang bapak harapkan dalam setiap do'a dan harapan bapak. Dan semoga rahmat Allah senantiasa bersama bapak sekeluarga dan bersama kita semua.
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Dikdik Andhika Ramdhan sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.