Sirah Umar, Ibnu Abdil Hakam : "Aku akan duduk di sebuah tempat yang tak kuberikan sedikit pun tempat untuk syaitan."
|
![]() |
http://dik2.multiply.com |
![]() |
andhika.ramdhan |
![]() |
ramadhan_adhi |
![]() |
andhika.ramdhan@gmail.com |
![]() |
andhika.ramdhan@gmail.com |
![]() |
http://twitter.com/AndhikaRamdhan |
Rabu, 4 Februari 2009 pukul 03:20 WIB
Penulis : Dikdik Andhika Ramdhan
Hampir saja aku tercekat ketika menyaksikan beberapa anak berhamburan memasuki tanah lapang itu. Mereka berlarian seolah tak peduli apa pun yang mereka injak. Padahal sampai kini, kerikil-kerikil kecil di sela rerumputan itu masih menjadi penduduk pribumi tanah lapang itu. Akan tetapi tetap saja, bagi mereka, kerikil kecil di sana ataupun duri-duri di ujung lapangan itu bagai sahabat sejati yang telah menemani mereka hingga kini, menuliskan cerita hidup dalam ingatannya, dan menorehkan sejarah besar untuk satu sisi kisah di masa nanti.
Memainkan bola dari kaki ke kaki, bagi mereka, seolah lebih dari menikmati keceriaan dunia di pagi ini. Aku tersadar, begitu banyak cerita-cerita dan harapan telah tertoreh di wajah-wajah cerah mereka. Tak terlukis sedikit pun beban hidup padanya. Meski di seberang sana, ratusan, ribuan, bahkan mungkin jutaan rekan-rekan sebaya mereka meringis, menangis, atau bahkan terbujur kaku di bawah desingan pesawat-pesawat tempur para zionis laknatullah, Israel.
Aku memicingkan mataku, lalu menghampiri seorang ibu yang berada di ujung sana. Di sebuah kebun bunga yang berada di samping tanah lapang itu, seperti menjadi pembatas keberbedaan kondisi dunia, antara tanah lapang kering yang tandus dengan hamparan bunga-bunga yang berwarna-warni di sana.
"Yang terpenting, kita harus bisa menjaga agar setiap hari tunas-tunas tanamannya bisa tetap bertahan dan tumbuh hingga nanti bisa berbunga," kata ibu itu seraya disertai dengan senyumnya.
Aku menarik nafasku, tercekat, dan serasa ada yang terlalu sakit menorehkan luka di hati ini. Lebih dari sekedar terasa seperti sisitan pisau belati yang mengiris kulit hewan-hewan qurban yang aku saksikan beberapa bulan yang lalu.
Andaikan kondisi tidak menempatkan bunga-bunga itu di kebun itu, namun berada di tanah lapang yang tandus, seperti rerumputan yang kini mulai lunglai di sana, terinjak-injak oleh anak-anak yang bermain di sana, untuk kemudian layu dan mati. Mungkin akan lain ceritanya.
Bayanganku melayang jauh ke sana. Merasakan baunya darah yang tercecer di mana-mana, merasakan getirnya suasana di tengah pertempuran yang entah kapan akan berakhir, merasakan sedihnya ketika satu demi satu bangunan yang pernah melukis sejarah mereka kini hancur berkeping-keping, atau mungkin merasakan kepedihan ketika satu demi satu orang yang mereka cintai pergi meninggalkan mereka.
Aku membayangkan bagaimana seandainya aku menjadi bagian dari mereka di sana, menjadi bagian dari anak-anak Palestina yang kini harus ikut berjuang di negeri sana, demi sebuah cita-cita, demi sebuah ketenangan, demi sebuah kebersamaan dengan orang-orang tercinta.
Ya Rabb, aku semakin tercekat hebat saat itu. Mereka, anak-anak itu memang bukan seperti layaknya tunas-tunas bunga yang tumbuh dan hidup di kebun-kebun hijau di samping tanah lapang itu. Namun, mereka adalah tunas-tunas bunga yang secara terpaksa harus tumbuh di tanah lapang yang kondisinya mengharuskan mereka untuk bisa bertahan. Meski mungkin tak ada cara untuk bisa mengelak ketika injakkan-injakkan kaki manusia menutup akhir ceritanya. Hingga akhirnya terinjak, layu, dan mati. Namun, yakinlah, bahwa apa pun yang terjadi, ketika rumput itu mati, maka suburnya tanah di sana, di masa yang akan datang akan menjadi penggantinya.
Begitu pula saat ini, yakinlah ketika kalimat Allah masih menjadi pekikan mereka di saat ketika maut yang melepaskan cita-cita mereka, anak-anak Palestina, untuk kembali lebih dulu menghadap Rabb-Nya. Namun, indahnya kemerdekaan di masa yang akan datang insya Alloh akan menjadi tebusannya, seperti indahnya ketika mereka kini menyandang gelar-gelar syuhada.
Semoga...
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Dikdik Andhika Ramdhan sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.