Pelangi » Pernik | Ahad, 24 Februari 2013 pukul 15:00 WIB

Oshin Abad 21

Penulis : Sri Yayu Indriyani R.

Puluhan tahun sebelum kupijakkan kaki ini di negeri Sakura, aku telah mengenal seorang karakter wanita negeri ini. Drama film legendaris telah memperlihatkan lika-liku perjuangannya.

Saat aku tiba di negeri Oshin berasal, kulihat jelas sosok para wanita setangguh Oshin. Walaupun tokoh Oshin yang kulihat dengan segala perjuangannya berbeda wujud dan jenis dengan kondisi kini.

Perjuangan itu secara tidak langsung mulai kurasakan perlahan. Semakin hari semakin menuntut kemandirian.

Sebelum aku tinggal di negeri ini, aku adalah anak rumahan, anak manja yang tidak mengenal apa itu hidup mandiri. Sejak lahir sampai menjelang menikah, aku senantiasa hidup dalam lindungan dan naungan kedua orangtua yang senantiasa menjaga kondisiku agar tetap sehat dan terjamin. Tentunya tidak seperti Oshin yang kulihat di televisi yang memulai perjuangannya sejak ia masih dalam umur kurang dari sepuluh tahun.

Sembilan tahun sudah aku hidup di negeri ini. Lingkungan dan kondisiku jauh hampir seratus delapan puluh derajat dengan kehidupan dulu. Kemandirian yang secara langsung dan tidak langsung terdidik perlahan dengan air mata yang jatuh sampai mengambang. Diriku kini telah berubah.

Masalah, kesulitan, perjuangan yang dihadapi sekarang sudah menjadi tanggung jawab diri. Empat amanah telah dititipkan oleh-Nya. Sesekali aku merasa terpeleset, tersungkur bahkan terjatuh. Sejuta syukur senantiasa kuucap karena aku senantiasa berharap dan berpegangan kuat pada-Nya. Nikmat yang tidak dapat terbalaskan adalah pendidikan agama Islam yang kudapat sejak kecil dari orangtua. Pendidikan Islam yang senantiasa kuperbaiki, sempurnakan hingga saat ini.

Adalah suatu kesulitan yang aku hadapi, tatkala diri ini merasa tak sanggup membawa tubuh dalam kondisi lemah untuk menjaga keempat amanah. Sakit yang datang, baik tiba-tiba ataupun sudah muncul tanda-tanda sebelumnya, dapat membuat seluruh amanahku terbengkalai.

Aku tertatih membawa serta tiga putra-putriku menemani ke sebuah rumah sakit untuk memeriksakan kondisi yang sudah tidak bisa didiamkan lagi. Alhamdulillah tangan ini masih kuat untuk memutar kemudi menuju sekolah untuk menjemput si-sulung dulu, barulah ke rumah sakit tujuan.

Demam tiga puluh delapan derajat membuat mataku berkunang-kunang. Hampir saja sebuah pohon di pelataran sekolah kutabrak, seandainya dua putra-putriku tidak mengingatkan. Alhamdulillah kami selamat.

Suster yang sering kulihat di ruang pemeriksaan kandungan menyapaku dengan ramah. "Daijoubu?" Aku hanya tersenyum lemah. Setelah panggilan untukku datang, dokter segera memberiku resep untuk penyakit kaze, batuk pilek ibu hamil ini. Klinik langganan tidak mau menerimaku dan menyarankan ke dokter kandungan karena kondisiku kini berbeda. Aku pulang dalam keadaan masih sangat lemah.

Esok hari, alhamdulillah demampun turun, tapi kondisi yang dikhawatirkan muncul. Astmaku kambuh dan ternyata bersamaan dengan putra ketigaku yang sudah batuk-batuk sejak kemarin. Obat astma yang habis dan batuk yang tidak kunjung hilang memaksaku untuk datang ke klinik langganan. Izin dari dokter kandunganpun terucap kemain. Jika kondisiku tidak menjadi baik, segeralah periksa ke dokter bagian dalam.

Setelah dua putra-putriku yang lain berangkat ke sekolah, aku mengajak putra ketiga untuk bersiap-siap. Sarapan alakadarnya alhamdulillah tersedia juga pagi ini. Mendadak putraku muntah karena batuknya yang parah. Aku segera berbenah dan membereskan semua.

Perjalanan dalam lima belas menit diiringi hujan yang dingin, pertanda musim gugur sudah datang. Aku siapkan sebuah selimut hangat di jok belakang untuk putraku. Sementara dadaku kembang kempis untuk mempertahankan asupan oksigen untukku dan bayiku agar tercukupi.

Kartu berobat dan kartu asuransi segera kuserahkan pada suster penjaga bagian adminitrasi. "Suster, bolehkah saya tidur di dalam, anak saya dan saya sesak sekali?" pintaku padanya. Alhamdulillah klinik langganan ini menyediakan enam tempat tidur bagi pasien yang parah. Peralatannya cukup canggih, mulai dari mesin pemeriksa darah, jantung, dan lain-lain. "Oh, silahkan, Bu," serunya sambil memanggil suster lain untuk mempersilakan masuk.

Di atas kasur, kubiarkan putraku tertidur di pangkuan, sementara aku merasa nyaman dengan duduk. Kuatur nafas yang semakin berat. Seorang suster mengambil tester pengukur asupan oksigen. Ia bertanya seputar riwayat sakit muncul sejak hari apa.

Dokterpun akhirnya tiba dan memeriksa kami berdua. Nebulizer kami peroleh bergantian. Sementara akupun diminta untuk periksa darah.

Setelah uap dari mesin nebulizer masuk dalam rongga mulutku, aku merasa nyaman dan ngantuk. Kubiarkan tubuhku tertidur di atas kasur klinik ini. Putrakupun mengerti dan ia pindah ke kasur sebelah. Suster langsung menutup tirai berwarna pink untuk mengelilingi tempat tidur kami. Tak terasa aku terlelap dalam beberapa menit.

Suara dokter yang semakin keras membangunkanku dalam lelap. Ia menjelaskan detail tentang kondisi aku dan putraku serta hasil pemeriksaan darah. Aku mendengarkan dengan teliti.

Obat baru kini kuperoleh. Hal yang sulit memang mencari obat yang aman untuk seorang ibu hamil. Sehingga aku mendapatkan obat yang lain dari yang sebelumnya pernah kuminum. Itupun hanya dua jenis. Pemberian obat dan pembayaran dapat dilakukan di klinik, tapi, "Ya Rabbana, aku lupa menggambil uang dulu ke ATM."

Persediaan uang dalam dompet hanya tiga ribu berapa ratus yen, kemarin sudah kupakai untuk menebus obat dari dokter kandungan dan belanja keperluan makan hari ini. Untuk biaya periksa dan obat kurang beberapa ratus yen.

"Ehm... Maaf, suster, uangnya kurang. Saya harus ke ATM dulu."
"Oh, tidak apa-apa, Bu, kwitansinya saya simpan dulu. Kapan-kapan ibu bisa datang ke sini untuk membayarnya."
"Alhamdulillah..." kuucap dalam hati dan berterima kasih atas perawatan kami hari ini.

Aku memang bukanlah Oshin, bukan pula Oshin abad 21. Tapi semangat Oshin dan gambaran perjuangan wanita itu di negeri ini telah memberikan pelajaran buatku agar senantiasa memupuk kemandirian. Satu hal penting yang membuat aku berbeda dengan Oshin, ada Allah SWT yang senantiasa menjadi tempat aku berlindung dan memohon pertolongan. Allah, Rabb pencipta alam ini, DIA adalah pengatur hidup manusia. Bukanlah hasil akhir yang Allah SWT lihat, tapi adalah proses. DIA adalah tempat kita semua kembali.

KotaSantri.com © 2002-2023