HR. At-Tirmidzi : "Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu. Maka barangsiapa mengambil warisan tersebut, ia telah mengambil bagian yang banyak."
|
Selasa, 10 September 2013 pukul 21:12 WIB
Penulis : Muhammad Nahar
Setegar apapun seseorang, suatu saat dia memerlukan sahabat untuk menangis di bahunya. Tidak harus diartikan harfiah memang, namun pada hakikatnya semua orang memerlukan “tempat curhat” untuk meringankan beban yang dipikulnya sehari-hari. Seseorang yang menyediakan kedua telinganya untuk mendengar dan hatinya untuk berempati tanpa menasihati atau menghakimi. Hidup memang terkadang tidak bersahabat, sehingga kita memerlukan sahabat untuk menjalani dan menghadapi kehidupan itu. Seorang sahabat yang menyediakan energi untuk kita agar mampu bangkit dan bersemangat kembali. Bahkan Rasulullah SAW saat menerima wahyu untuk pertama kalinya, beliau sedemikian takut hingga menggigil berkeringat dingin sampai perlu ditenangkan dan diselimuti istrinya, Khadijah RA.
Namun sahabat kita itu bukanlah malaikat-malaikat bersayap yang tidak pernah berbuat salah atau tidak pernah merasa lelah. Mereka adalah manusia yang tercipta dari tanah lumpung yang sama dengan diri kita. Tidaklah bijaksana apabila kita memaksakan kehendak kita kepada mereka setiap saat. Adalah suatu kesalahan besar apabila kita menuntut para sahabat kita untuk mendampingi dan menemani kita stiap waktu. Mereka juga punya kepentingan sendiri yang menuntut kehadiran dan kemampuan terbaik mereka. Mereka pun perlu memiliki waktu-waktu tertentu yang dapat mereka nikmati tanpa kehadiran orang lain.
Persahabatan sejati adalah persahabatan yang saling mengisi dan saling meningkatkan kualitas diri dalam berbagai bidang kehidupan. Kekurangan seorang sahabat adalah ladang amal bagi kita dan kelebihan seorang sahabat adalah ladang ilmu bagi kita. Dalam tingkatan yang lebih tinggi, kedua sahabat saling bercermin pada sahabatnya agar bisa melihat kekurangan dan kelebihan dirinya secara jujur, tanpa menjadi minder atau sombong.
Pada hakikatnya persahabatan yang sejati adalah persahabatan yang “menjadi”, bukan persahabatan yang sekedar “memiliki” seorang sahabat. “Menjadi” di sini adalah menjadikan sang sahabat sebagai guru dan murid sekaligus. Ada kalanya kita mengajari, mengkritik, dan memberi saran pada sang sahabat. Dan ada kalanya kitalah yang menerima semua hal tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah pepatah Arab, “Sahabat yang baik adalah yang menunjukkan kepada kebaikan. Sahabat itu yang dapat membuatmu menangis akan hakikat kehidupan, bukan membuatmu tertawa.” Semua itu hanya bisa terjalin dengan adanya komunikasi yang baik dan efektif. Komunikasi yang baik bukan berati tanpa hambatan atau kesalahpahaman. Namun, dalam komunikasi yang sehat dan baik, konflik bisa segera diatasi dan persahabatan tetap dapat terjalin kembali dengan baik.
Kemudahan akses komunikasi yang dihasilkan oleh perkembangan pesat teknologi informasi tidak lantas menjamin bahwa persahabatan akan terbina dengan baik. Kecepatan peralihan informasi justru sering kali membuka peluang yang besar untuk salah paham, sehingga merusak atau bahkan menghancurkan persahabatan. Pesatnya kemajuan teknologi informasi tidak selalu berbanding lurus dengan kemampuan dan keterampilan manusia berkomunikasi dengan sesamanya. Terkadang kata-kata atau canda yang tidak tepat bisa merusak, minimal mengurangi, tingkat kepercayaan seseorang pada sahabatnya.
Persahabatan terjalin karena kepedulian, kepedulian terbentuk karena pengertian, pengertian diperoleh dengan komunikasi yang baik dan efektif. Sebaliknya, komunikasi yang tidak efektif menghasilkan kesalahpahaman. Kesalahpahaman menghasilkan prasangka buruk. Prasangka buruk menghasilkan ketidakpercayaan. Dan pada akhirnya, ketidakpercayaan menghasilkan permusuhan. Apabila permusuhan sudah terjadi, sangat sulit untuk kembali menjalin komunikasi. Sungguh merupakan sebuah kerugian besar apabila persahabatan, apalagi yang sudah terbina dalam waktu yang lama, harus terputus dan hancur begitu saja.
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Muhammad Nahar sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.