Ibn Qudamah : "Ketahuilah, waktu hidupmu sangat terbatas. Nafasmu sudah terhitung. Setiap desahnya akan mengurani bagian dari dirimu. Sungguh, setiap bagian usia adalah mutiara yang mahal, tak ada bandingannya."
|
![]() |
http://hifizahn.multiply.com |
Sabtu, 29 Agustus 2009 pukul 18:11 WIB
Penulis : Hifizah Nur
Dikisahkan, pada detik-detik meninggalnya Rasulullah, seorang remaja belia, Usamah bin Zayd, mendapat amanah sebagai komandan perang yang di dalam tentaranya terdapat sahabat-sahabat besar seperti Abu Bakar, Umar, dan Ustman. Seorang remaja belia, yang mungkin kalau dinisbatkan dengan anak-anak muda di jaman ini, seperti anak-anak muda yang baru masuk ke perguruan tinggi.
Bedanya adalah Usamah bin Zayd memiliki seluruh kapasitas yang diperlukan untuk menjadi seorang pemimpin di usianya yang masih muda. Sedangkan remaja-remaja seumur Usamah saat ini, masih belum menemukan jati diri mereka, bahkan masih mencari model untuk ditiru dan diserap untuk dijadikan karakternya sendiri.
Beberapa ratus tahun kemudian, seorang remaja yang usianya baru 12 tahun, mendapat amanah untuk memimpin kerajaan Islam Turki Utsmani. Remaja belia ini bernama Muhammad. Ayahnya, Sultan Murad II, memiliki tujuan khusus ketika menyerahkan tongkat kepemimpinan ini kepada anaknya yang masih sangat muda, yaitu mempersiapkan sang anak untuk menjadi pemimpin penakluk kerajaan Romawi Timur (Konstantinopel), seperti yang disabdakan Rasulullah SAW beberapa abad sebelumnya.
Diusia 21 tahun, Sultan Muhammad berhasil membuka Konstantinopel, menjawab tantangan Rasulullah, menjadi sebaik-baik komandan perang dan memiliki sebaik-baik tentara. (HR. Ahmad, Al-Hakim, dan Bukhari). Karena itulah Sultan Muhammad diberi gelar Al-Fatih, Sang Penakluk.
12 tahun, usia yang dalam pandangan kita saat ini, masih kanak-kanak. Tetapi kapasitas yang dimiliki oleh Muhammad Al-Fatih sangat jauh melebihi kualitas anak-anak seusianya saat ini, bahkan mungkin juga jauh di atas kualitas muslim dewasa di jaman ini.
12 tahun anak-anak jaman ini, masih memiliki banyak keinginan untuk bermain. Tetapi 12 tahun Sultan Muhammad Al-Fatih, sudah memikirkan urusan-urusan kenegaraan.
Dari kisah kedua remaja tadi, bisa terlihat, seperti apa orangtua para remaja ini mempersiapkan anak-anaknya untuk meneruskan tongkat estafet perjuangan Islam.
Sejak kecil, mereka diarahkan tujuan hidupnya untuk menjadi pejuang-pejuang Islam yang tangguh. Bukan hanya itu, sejak kecil, mereka sudah diajarkan berbagai macam ilmu yang menunjang pembentukan pribadi pemimpin dalam diri mereka. Mereka juga didekatkan kepada ulama yang shalih dan memiliki pemahaman keislaman yang mendalam.
Bercermin dari kedua kisah tadi, apa yang sudah kita rancang untuk pendidikan anak-anak kita? Tinggal di negeri non muslim membuat para orangtua menghadapi banyak sekali tantangan yang berat. Apa yang diajarkan di dalam rumah, sering kali dimentahkan kembali oleh lingkungan, yang sangat jauh dari nilai-nilai Islam.
Jangankan bermimpi untuk membentuk seorang Muhammad Al-Fatih dalam diri anak-anak kita, untuk mempertahankan jati diri mereka sebagai muslim saja berat sekali usaha yang harus dilakukan. Meskipun demikian, menyerah dan membiarkan anak-anak kita tergerus budaya yang jauh dari nilai-nilai Islam, tentu bukanlah jawaban.
Ramadhan adalah momen di mana setiap keluarga memiliki semangat untuk menghidupkan nilai-nilai Islam. Di bulan ini, aktivitas ibadah semakin kuat. Nilai-nilai Islam seperti puasa, shalat malam, dan membaca Al-Qur'an kembali hidup dan mengisi hari-hari dalam setiap keluarga muslim. Mengajak anak-anak untuk ikut serta dalam ibadah-ibadah di bulan Ramadhan, adalah tarbiyah yang baik untuk mereka dalam menerapkan nilai-nilai Islam.
Namun, lebih dari itu, Ramadhan bisa menjadi saat yang tepat bagi kita untuk merancang ulang pendidikan keislaman anak-anak kita. Ramadhan menjadi saat untuk menoleh ke belakang, mengevaluasi hasil-hasil tarbiyah Islamiyah anak-anak kita. Lalu merumuskan proses ke depan, merancang target-target yang jelas, menyiapkan anak-anak kita untuk meneruskan tongkat estafet perjuangan Islam ke depan.
Hal-hal yang perlu dilakukan para orangtua adalah :
1. Menentukan target, ingin kita jadikan seperti apa anak-anak kita 10 atau 20 tahun ke depan.
2. Membekali diri dengan ilmu-ilmu keislaman dan pendidikan anak dengan sebaik mungkin.
3. Mempersiapkan diri untuk menjadi model utama dari nilai-nilai yang diajarkan kepada anak-anak kita.
4. Menjadikan keluarga sebagai madrasah pertama untuk anak-anak dalam belajar Al-Qur'an, aqidah, akhlaq, shirah para Nabi, Rasul, dan pejuang-pejuang Islam lainnya.
5. Mendorong anak-anak untuk membaca kisah hidup orang-orang shalih terdahulu dan pahlawan-pahlawan Islam.
6. Sering mengajak mereka ke pusat-pusat keislaman, seperti mesjid, dan mengajak mereka bertemu dengan orang-orang shalih.
7. Membentuk lingkungan yang Islami di luar lingkungan yang biasa mereka temui. Misalnya membuat camp anak, atau membuat kelompok belajar Islam untuk anak-anak. Hal ini penting untuk menguatkan identitas diri mereka sebagai muslim.
8. Hal-hal lain yang bisa menunjang tercapainya target yang sudah ditetapkan.
Membentuk sebuah generasi baru yang siap melanjutkan perjuangan menguatkan eksistensi Islam di muka bumi, bukan perkara mudah. Diperlukan usaha yang keras dan terus menerus untuk mewujudkannya. Setiap keluarga muslim mempunyai satu tanggung jawab besar untuk menjalaninya. Ramadhan, adalah waktu yang tepat untuk merekonstruksi kembali pendidikan keislaman anak-anak kita.
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Hifizah Nur sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.