HR. Ad-Dailami : "Alangkah baiknya orang-orang yang sibuk meneliti aib diri mereka sendiri dengan tidak mengurusi aib orang lain."
|
Sabtu, 12 Oktober 2013 pukul 20:20 WIB
Penulis : Syaifoel Hardy
Dompet si kaya butuh pengeluaran sebagian agar tidak terlalu 'berat' membawanya sebagai zakat dan sadaqah, sedangkan dompet si miskin perlu diisi agar yang namanya dompet ini tidak sia-sia dibawa kemana-mana guna memenuhi sebagian kebutuhan dalam hidupnya.
Bulan lalu dalam salah satu e-mail dari istri saya menceriterakan dompetnya jatuh dalam perjalanan pulang, yang katanya tergesa-gesa waktu itu. Ia baru sadar dompetnya hilang sesudah berjalan sekitar 50 meter lebih. Kata orang yang sempat tahu dompetnya jatuh, diambil oleh orang yang naik sepeda motor. Sebenarnya saksi tersebut mau mengambilnya, tapi karena dia berpikir bahwa si pengendara sepeda motor tersebut kenal istri saya, maka niat mengambil dompet pun dibatalkan. Ternyata dompet tersebut tidak segera diberikan istri saya. Ia pun 'kalut'. Duit di dalamnya tidak banyak, hanya Rp 30 ribu, tapi yang lain; ada KTP dan Kartu ATM. Barangkali itu yang bisa dianggap penting. Kontan dia segera telepon Bank untuk menonaktifkan ATM nya. Malam harinya istri saya kedatangan tamu. Siapa duga bahwa kedatangan tamu tersebut ternyata bermaksud mengembalikan dompetnya yang jatuh? Istri saya pun menyesal karena buru-buru su'udhon kepada orang yang mengambil dompetnya tadi pagi. Dompet diterima kembali lengkap dengan isinya sebagaimana semula. Alhamdulillah! Demikian ucapnya.
Dompet, entah kapan istilah tersebut lahir dalam kamus Bahasa Indonesia. Orang Jawa kuno sudah mengenal dompet ini bahkan sejak Jaman Mojopahit, sekalipun bentuknya berbeda. Bentuk dompet kuno tak lebih dari semacam kantong yang dikaitkan ke pinggang, atau ikat pinggang. Orang India Selatan, bahkan sampai sekarang mengenakan dompet jenis ini. Orang Arab mengenal dengan istilah 'Kis'. Rasulullah SAW mengenakannya, diikatkannya di bahu kiri dan Kis ini menggantung di balik jubahnya. Orang Barat (Inggris) mengenal dompet sebagai 'Purse' atau 'Wallet' sekitar abad ke 12-13 (Webster's, 1991) yang berarti tempat menyimpan uang atau barang-barang ringan lainnya yang umumnya dipakai saat mengadakan perjalanan.
Sampai sekarang, boleh dibilang sudah sekitar 8 abad istilah dompet itu dikenal pengertiannnya pun tidak berubah. Kebanyakan orang memilikinya, dari mereka yang di pelosok desa hingga kota, orang yang buta huruf sampai Presiden Gus Dur, dari anak SD hingga PHD. Arti dompet bukan lagi rahasia, hanya satu. Begitulah yang paling dikenal. Sekali orang menyebut dompet maka yang dimaksud adalah uang sekalipun belum tentu di dalam dompet tersebut ada sekeping 'coin'. Karena dompet orang bisa senang, susah, lapar, kenyang, disenangi orang, dibenci teman, populer, pula dipenjara.
Estrada, mantan Presiden Filipina dipenjarakan oleh pihak pengadilan karena dituduh korupsi, memperoleh 'sogokan' demi kepentingan kantong pribadinya. Kondisi politik Gus Dur juga demikian. Bulogate, Bruneigate adalah dua kasus yang membikin karir kepresidenannya terseok-seok. Semua ini apalagi kalau bukan gara-gara dompet tadi. Dalam kategori 'kecil', setiap penyelundupan, penyelewengan, konspirasi, dan segala bentuk manipulasi hampir bisa dipastikan berlatarbelakang dompet ini. Dalam pengertian positif karena dompet pula Emirates Tower berdiri, Burj Al Arab menjulang megah, Jembatan San Fransisco terbentang, George W. Bush jadi presiden, juga Megawati jadi 'kepala banteng'. Kemajuan atau pun kemunduran suatu bangsa, kedamaian atau kerusuhan, secara langsung atau tidak, keterlibatan dompet ini tidak bisa begitu saja dikesampingkan. Dompet pulalah yang membedakan antara si miskin dan si kaya.
Pengaruh negatif dompet ini bisa begitu kuat mempengaruhi pola pikir dan perilaku seseorang hingga sombong, angkuh, congkak serta kikir. Mereka yang sudah tebal dompetnya ingin semakin tebal dengan cara bukannya memperbesar ukuran dompetnya, sebaliknya semakin tipis. Cukup dengan sehelai kartu yang ada didalam dompet saja dia mampu meraih apa yang diimpikannya, tak peduli apakah cara yang ditempuhnya itu bakal menyengsarakan banyak orang atau tidak. Ada kecenderungan perolehan harta yang banyak itu dibarengi dengan merangkul penguasa sehingga si kaya bisa berbuat sesuka hatinya, sebagaimana hubungan Firaun dan Qarun.
Di masa Nabi Daud ada dua orang yang sedang berselisih soal harta kekayaan. Yang pertama mempunyai 99 ekor domba, sedangkan yang satunya lagi hanya memiliki satu ekor domba. Orang yang pertama merasa bahwa jumlah dombanya kurang genap. Karenanya ia ingin menggenapkannya menjadi seratus dengan cara merampas domba saudaranya yang hanya tinggal satu-satunya tersebut.
Ketidakmengertian kita terhadap perilaku orang yang semakin kaya semakin serakah ini mungkin karena kita sendiri belum kaya. Artinya, seandainya kita juga termasuk golongan mereka, maka orang-orang miskin seperti kita tentu akan bertanya-tanya, kenapa anda berperilaku seperti itu. Meskipun ada satu dua orang kaya yang berperilaku seperti Nabi Sulaiman, tapi kebanyakan manusia kaya berperilaku seperti Qarun. Biasanya mereka memiliki dua sifat sekaligus, yaitu serakah dan kikir.
Perilaku mereka itu telah direkam secara baik dalam al-Qur'an : "Bermegah-megah telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui." (QS. at-Takatsur : 1 - 4).
Kisah menarik di atas sampai sekarang masih juga terjadi. Banyak kita jumpai di sekeliling kita orang serakah semacam itu. Mereka telah menguasai tanah seluas hampir sehektar untuk membangun rumahnya. Di pojok tanah tersebut ada sebidang tanah milik orang miskin. Tanah itu sangat kecil ukurannya bagi si kaya, tapi sangat besar artinya bagi si miskin. Hanya karena si kaya menginginkan agar tanah yang hendak dibangun rumah itu berbentuk persegi, maka tanah si miskin digusur.
Perilaku seperti ini semakin menjadi-jadi karena dalam kenyataannya di lapangan, uang sangat memegang peranan. Seseorang bisa saja ditempatkan pada kursi terdepan dalam suatu undangan, hanya karena ia kaya. Seorang Ulama atau cendikiawan, karena tidak kaya harus rela ditempatkan di kursi belakang, meskipun majlis itu lebih membutuhkan ilmu dan pemikirannya.
Posisi menjadi orang penting itu sangat diharapkan oleh semua orang. Orang tua akan sangat merasa bahagia ketika anak-anaknya masih kecil. Pada saat itu anak-anak sangat tergantung kepadanya. Sandang, papan dan pangan, semua dari orang tuanya. Pada saat itu orang tua berbahagia karena ia dalam lingkungan keluarganya menjadi orang penting. Orang yang dibutuhkan.
Lain halnya ketika anak-anaknya sudah beranjak dewasa. Ia berbahagia ketika anak-anaknya sudah mendapatkan pekerjaan dan gaji yang cukup. Akan tetapi manakala si anak tidak lagi memperhatikan ibu bapaknya, dan orang tua merasa tidak lagi dibutuhkan oleh anaknya, maka siksaan batin langsung merasuk dalam hatinya. Suksesnya anak justru seringkali menambah siksaan baginya.
Nafsu berkuasa itu selalu ada dan tumbuh pada diri manusia. Setiap orang mempunyai keinginan untuk dilayani. Perintahnya dipatuhi dan kata-katanya didengar. Ketika seseorang merasa bahwa perintahnya dipatuhi orang dan kata-katanya didengar, maka kepuasan batinnya terpenuhi. Sebaliknya, jika tidak ada orang yang mendengarnya, apalagi menuruti perintahnya, maka ia merasa sunyi. Hidup terasa tidak berarti.
Maka beruntunglah bagi orang-orang yang mampu mengendalikan dompetnya. Ada kebutuhan dalam dompet-dompet baik milik si kaya maupun si miskin. Dompet si kaya butuh pengeluaran sebagian agar tidak terlalu 'berat' membawanya sebagai zakat dan sadaqah, sedangkan dompet si miskin perlu diisi agar yang namanya dompet ini tidak sia-sia dibawa kemana-mana guna memenuhi sebagian kebutuhan dalam hidupnya. Jika kedua kebutuhan dompet ini terpenuhi maka terlihatlah sebuah pemandangan harmoni dalam hidup ini.
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Syaifoel Hardy sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.