HR. Ibnu Majah dan Abi Ad-Dunya : "Secerdik-cerdik manusia ialah orang yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling gigih membuat persiapan dalam menghadapi kematian itu."
|
hendi_ruhe@yahoo.com | |
roehendie@gmail.com | |
hendi_ruhe@yahoo.com |
Oleh ruhendi
KETIKA semua orang merasa selalu kurang dengan materi (uang), ada seorang tukang permak pakaian keliling memasang tarif “seikhlasnya”. Padahal dia sudah berkeluarga, mempunyai seorang anak kecil 3 tahunan dan tinggal di kamar kontrakan yang sempit. Tiap hari ia berkeliling masuk komplek mencari konsumen untuk dibantu memperkecil ukuran baju atau celana.
Waktu makan siang tiba (pukul 12.00) ia tiap hari pulang ke kontrakannya, memilih makan bersama anak dan istrinya. Juga untuk beristirahat sejenak. Setelah itu dia mengayuh sepeda jahitnya (sepeda yang ada mesin jahitnya) mencari konsumen lagi.
Kemarin siang, saya ke tempat kontrakannya bermaksud mengecilkan kaos yang kegedean karena terlalu lebar di badan. Sepeda-jahitnya terlihat di parkir di depan kontrakannya.
Mulailah tukang permak mengerjakan tugasnya setelah diberi contoh ukuran kaos. Mengukur, memotong dan menjahit kaos sesuai dengan pesanan dan rapi.
Kurang lebih 10 menit sudah beres kaos itu dikecilin, saya tanya ongkosnya (upah) berapa. Ia menjawab seikhlasnya saja terserah. Jawaban itu bikin bingung kira-kira sepantasnya berapa?. Kurang lebih lebih 8 kali ditanya berapa ongkosnya jawabannya tetap sama: "Terserah mas saja".
Ia bilang malu bila mematok harga pada tetangga. Akhirnya diberi Rp10 ribu. Saya pikir layak untuk upahnya dengan perbandingan bila memotong celana jeans yang kepanjangan Rp7 ribu.
Tampak bingung ia menerima uang tersebut dan bilang, uang ini harus ditukar dulu untuk kembaliannya. Ia malah minta setengah saja dari nominal uang itu. Wajahnya tampak begitu senang.
**
Dalam hati kecil saya, apakah tukang permak pakaian merasa cukup dengan upah seikhlasnya? Hidup di jaman sekarang disaat harga barang kebutuhan mahal perlu uang banyak untuk bisa belanja.
Tapi, katanya alasan tidak mematok harga karena ia merasa tidak enak sama tetangga. Padahal jarak rumahnya dengan tempat tinggal saya cukup jauh dan kami tidak terlalu akrab.
Inilah pelajaran perlunya merasa cukup dengan apa yang kita miliki dan rasa kekeluargaan yang tinggi sesama tetangga. Pernahkah kita merasa cukup?
Bagikan | Tweet |
|
--- 0 Komentar ---