HR. Ad-Dailami : "Alangkah baiknya orang-orang yang sibuk meneliti aib diri mereka sendiri dengan tidak mengurusi aib orang lain."
Alamat Akun
http://indrawidjaja.kotasantri.com
Bergabung
26 Februari 2009 pukul 13:00 WIB
Domisili
Jakarta - DKI Jakarta
Pekerjaan
Konsultant
simply person with simply motivation where find the Truth is as my way of live
http://indra.web.id
saya@indra.web.id
steven widjaja
http://facebook.com/steven indra widjaja
http://friendster.com/steven widjaja
Tulisan Indra Lainnya
M. Syarif Hidayatullah : Hidayah Melalui Buku
3 Desember 2009 pukul 22:15 WIB
Ahmad Makboel : Meraih Keuntungan Ganda
19 November 2009 pukul 22:45 WIB
Naoko Kasai : Mengenal Islam Lewat Pergaulan
29 Oktober 2009 pukul 22:33 WIB
Bernard Nababan : Ragu pada Isi Alkitab
8 Oktober 2009 pukul 21:15 WIB
Bilik
Bilik » Mualaf

Kamis, 17 Desember 2009 pukul 22:00 WIB

Agus Slamet : Ada Apa dengan Islam?

Penulis : Indra Widjaja

Kalau saya renungkan, jalan hidup saya sungguh unik dan berliku. Sebab, sebelum memutuskan untuk memilih Islam -bahkan sekarang menjadi da'i-, saya adalah orang yang paling memusuhi Islam dan kaum muslimin. Sikap saya itu terbentuk karena pendidikan saya mengajarkan demikian. Ketika duduk di kelas VI SD milik sebuah yayasan Katolik, saya sudah menyaksikan sikap para guru yang kurang simpatik, bahkan cenderung menekan kepada siswa yang beragama Islam.

Saya dilahirkan 28 Agustus 1962 dari seorang ayah Tionghoa dan seorang ibu yang berasal dari Ketanggungan, Brebes, Jawa Tengah. Sebagaimana lazimnya orang Tionghoa, ayah saya beragama Budha Konghucu. Sedangkan ibu saya yang asli Jawa adalah Islam abangan dan banyak mengamalkan tradisi Kejawen. Karena itulah saya punya dua nama. Oleh ayah saya diberi nama Na Peng An. Sedangkan ibu memberi saya nama Agus Slamet. Saya sendiri lebih menyukai nama pemberian ibu.

Sejak SD, saya sudah bersekolah dua. Pagi bersekolah di SD Katolik, sedangkan siangnya bersekolah di SD Hokkian yang berbahasa Mandarin (sekarang SD Bhineka Tunggal Ika). Keduanya di daerah Jembatan Lima, Jakarta Barat.

Meskipun ayah saya beragama Budha, tetapi karena ia meninggal saat umur saya baru 9 tahun, maka ajaran Katoliklah yang paling banyak mempengaruhi masa kecil saya. Di SD Katolik itu saya bahkan termasuk anak yang menonjol, sehingga pada saat duduk di kelas IV SD (umur 10 Tahun), saya sudah menjadi pendeta anak-anak. Tugas saya menyampaikan cerita kisah para rasul menurut versi Injil kepada anak-anak kelas I sampai kelas III pada Sekolah Minggu atau kebaktian khusus untuk anak-anak.

Karena bakat saya itulah, ketika di kelas V SD saya disekolahkan pada sekolah khusus untuk calon pendeta di daerah Cibubur - Jakarta Timur. Tentu saja dengan jaminan bebas SPP, mendapat uang saku, bahkan jaminan naik kelas dan lulus EBTA (ujian).

Di sekolah khusus itu, selain mendapat pendalaman Injil, kami juga dilatih ilmu bela diri dengan disiplin militer yang ketat. Sedangkan untuk tugas-tugas kemasyarakatan, kami diajarkan bagaimana cara mempengaruhi masyarakat agar mendukung program Kristenisasi. Misalnya dengan pendekatan olahraga dan kesenian kepada remaja muslim, dan santunan sosial kepada masyarakat muslim yang miskin.

Selama mengikuti sekolah khusus itu, saya tinggal di asrama. Praktis, saya tidak mengikuti pelajaran di kelas. Hanya sekali-kali saja datang, jika ada ulangan atau tes. Tetapi, seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, saya lulus EBTA dengan nilai rata-rata. Di kelas VI SD inilah, siswa yang beragama Islam mendapatkan tekanan untuk datang ke gereja pada setiap hari Minggu dengan ancaman tidak lulus EBTA bagi yang tidak datang.

Setelah lulus SD, saya disekolahkan ke SMP Katolik di Jl. KH. Mas Mansyur, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sementara itu, pada saat yang sama saya tinggal di asrama sekolah khusus calon pendeta. Pelajaran yang saya terima pun semakin meningkat. Kami, para siswa sekolah khusus, disamping terus mengikuti pendalaman Injil, juga diajarkan bagaimana cara menghancurkan agama Islam dengan jalan merombak sikap hidup Islami kaum muslimin. Terutama menciptakan dekadensi moral di kalangan remaja muslim. Dan cara yang paling ampuh, melalui jalan pernikahan. Kami yang laki-laki disuruh menikahi gadis-gadis muslimah. Sedangkan yang perempuan disuruh menikah dengan pemuda Islam.

Tetapi, timbul sesuatu yang aneh dalam diri saya. Tidak seperti kawan-kawan saya yang lain, yang begitu saja menelan mentah-mentah doktrin yang diberikan para guru di sekolah khusus, saya justru selalu merenungkannya. Bahkan, tidak jarang saya melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang kritis, baik yang menyangkut pemahaman lnjil maupun mengenai strategi penghancuran moral kaum muslimin.

Pendalaman Injil yang utuh dan detail, menyebabkan wawasan saya semakin terbuka. Saya menemukan banyak kejanggalan dan keanehan di dalam Injil, baik menyangkut redaksi maupun isi. Dari segi redaksi, antara Injil yang satu dan Injil yang lainnya terjadi perbedaan redaksional yang terkadang amat tajam.

Satu hal lagi yang membuat saya bingung, mengapa Injil yang diyakini sebagai firman Tuhan mengalami revisi (ralat, perbaikan) beberapa kali, sehingga dalam Alkitab ada Perjanjian Baru yang meralat ajaran-ajaran Perjanjian Lama? Kalau begitu, di mana keautentikan dan keaslian Injil?

Semua keanehan yang saya temukan itu selalu saya tanyakan kepada pastur yang membimbing kami. Tetapi, jawaban yang saya dapatkan selalu tidak memuaskan, karena hanya berdasarkan akal pastur yang bersangkutan saja, tanpa menyebut dalil Injil yang jelas.

Saya juga menanyakan mengapa kaum muslimin dianjurkan berkhitan (sunat) dan diharamkan memakan daging babi? Oleh pastur dijawab bahwa orang Islam tidak bersyukur kepada Tuhan. Alasannya, mengapa kemaluan (alat vital) yang diciptakan utuh oleh Tuhan harus dipotong (dibuang)? Termasuk daging babi, mengapa sesuatu yang telah disediakan Tuhan untuk manusia harus diharamkan? Tetapi, alasan itu disampaikan hanya berdasarkan akal saja, tanpa ada dalil Alkitab yang konkret. Saya betul-betul kecewa.

Termasuk usaha untuk menghancurkan moral kaum muslimin pun, tidak luput dari sasaran pertanyaan saya. Saya terkadang heran dan bingung sendiri, mengapa agama yang mengajarkan kasih sesama makhluk Tuhan mempunyai kebencian yang begitu mendalam kepada Islam?

Semua kejanggalan dan keanehan itu mempunyai kesan yang amat kuat membekas dalam jiwa saya yang kelak akan mengubah jalan hidup saya. Sejak timbulnya konflik yang berkepanjangan itu, terjadi kesenjangan rohani pada diri saya. Saya sudah tidak mempercayai lagi dengan kebenaran Alkitab. Saya betul-betul kecewa kepada Injil yang selama itu saya anggap sebagai kitab suci.

Klimaks dari semua itu, saya mengundurkan diri dari sekolah khusus. Akibatnya, semua jaminan dan fasilitas yang saya dapatkan selama itu, dicabut. Waktu itu tahun 1976, saat akhir di kelas I dan kenaikan kelas. Ketika pembagian rapor kenaikan, saya keluar dari SMP Van Tarsius itu. Saya memutuskan pindah sekolah. Sebagai konsekuensinya, saya harus memikirkan soal biaya sekolah. Padahal, sebelumnya serba gratis. Beruntung ada seorang kenalan saya yang menjadi kepala sekolah Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) mau menerima saya mengajar di sekolah yang dipimpinnya. Waktu itu saya masih beragama Katolik. Saya diserahi mengajar bidang studi matematika dan IPS. Dengan cara itulah saya membiayai pendidikan saya di SMP sampai kemudian menamatkan SMA tahun 1980.

Antara tahun 1976-1980, sebetulnya saya sudah tidak beragama lagi. Saya sudah frustrasi dengan Katolik. Saya sudah tidak pernah lagi membuka-buka Injil. Di hati saya, sudah tidak ada lagi ikatan batin yang menghubungkan antara saya dan gereja.

Tetapi sejalan dengan itu, suasana ketika saya mengikuti pendidikan di sekolah khusus calon pendeta seperti terulang kembali. Masih segar dalam ingatan saya, bagaimana kami mendapat doktrin tentang kebenaran Kristus yang tidak dapat dibantah selain harus menelan mentah-mentah.

Tetapi di antara semua itu, yang paling mengusik batin saya, mengapa mereka begitu membenci Islam? Mengapa Islam begitu dimusuhi, sehingga diperlukan strategi dan taktik untuk menghancurkannya? Karena pertanyaan-pertanyaan itulah saya mulai melirik kepada Islam. Ada apa dengan Islam? Kekuatan apa yang dimiliki Islam sehingga ia dianggap sebagai ancaman?

Waktu itu saya baru tamat SMA. Untuk menjawab hasrat hati itu, saya harus mempelajari Islam terlebih dahulu. Sebab, saya tidak ingin tertipu dua kali. Saya merasa tertipu memilih Katolik sebagai agama, lantaran tidak mendalami terlebih dahulu.

Kebetulan, tidak jauh dari rumah saya, tinggal seorang mantan qari tahun 50-an bemama H. Abdul Ghani Gamal. Kepada beliau, saya katakan bahwa saya ingin mempelajari Islam. Tidak tanggung-tanggung saya ingin belajar Islam dari nol, mulai dari belajar huruf Arab (Al-Qur'an), teologi (tauhid), termasuk peribadatannya (fikih syari'ah).

Semula H. Abdul Ghani keberatan, dengan alasan saya belum mengucapkan dua kalimat syahadat alias masih kafir. Tetapi saya katakan kepadanya bahwa saya akan masuk Islam jika saya sudah benar-benar meyakininya. Atas pertimbangan itu, akhirya saya diterima menjadi muridnya.

Waktu itu akhir tahun 1980. Selain itu, saya juga sering berkunjung kepada ulama-ulama terkenal, seperti KH. Abdullah Syafi'i (almarhum) dan Abah Anom di Tasikmalaya, Jawa Barat. Bahkan, setiap ada pengajian di masjid-masjid terkenal, saya tidak pernah absen menghadirinya. Waktu itu, tidak satu pun jama'ah yang hadir mengetahui ada seorang non muslim ikut mengaji bersama mereka.

Dari beberapa pengajian yang saya ikuti, saya sudah dapat menilai bahwa Islam adalah agama yang rasional dan terbuka terhadap perbedaan pendapat. Meskipun pemahaman kaum muslimin secara umum terbagi dalam 3 golongan : tradisional, moderat, dan fundamental. Tetapi dalam masalah prinsip (pokok) tetap utuh, yakni bertuhan Allah SWT dan meyakini satu kitab suci Al-Qur'an sebagai pedoman hidup.

Kurang kebih 5 tahun saya mempelajari Islam dari beberapa orang guru yang mewakili 3 kelompok pemahaman tersebut. Disamping itu, untuk menambah wawasan, saya selalu membaca buku-buku tentang Islam. Pokoknya, jika ada uang lebih, selalu saya belikan buku-buku tentang Islam.

Dalam pengembaraan mencari kebenaran hakiki itu, baru saya dapatkan jawabannya. Dan jawabnya hanya ada dalam Islam. Di antara daya tarik Islam yang begitu berkesan pada diri saya adalah konsep Ketuhanannya yang tegas dan sederhana (tauhid), keautentikan Al-Qur'an sebagai kitab suci, serta tata cara ibadahnya yang luwes dan sederhana.

Setelah merasa cukup bahan untuk menentukan pilihan, maka pada awal tahun 1985, secara resmi di hadapan jama'ah sebuah masjid di daerah Cengkareng, Jakarta Barat, saya ucapkan ikrar dua kalimat syahadat di bawab bimbingan 2 orang guru saya, H. Abdul Ghani dan H. Ali. Seminggu kemudian, ibu saya menyempurnakan kembali keislamannya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.

Saya bersyukur dapat langsung membimbing beliau melaksanakan shalat. Kini, saya hidup berbahagia dengan istri dan 3 orang anak. Selain berusaha dan berbisnis, saya juga aktif berdakwah melalui wadah organisasi PITI (Pembina Iman Tauhid Islam).

Dari mualaf.com

http://indra.web.id

Suka

Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Indra Widjaja sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.

Moh. Iwan Ihyak Ulumuddin | Pelajar
Ingin sekali gabung, sharing ilmu, and so on.
KotaSantri.com © 2002 - 2024
Iklan  •  Jejaring  •  Kontak  •  Kru  •  Penulis  •  Profil  •  Sangkalan  •  Santri Peduli  •  Testimoni

Pemuatan Halaman dalam 0.1046 Detik

Tampilan Terbaik dengan Menggunakan Mozilla Firefox Versi 3.0.5 dan Resolusi 1024 x 768 Pixels